Jumat, 21 Oktober 2011

Langkah Untuk Berubah

Setiap perubahan pasti butuh waktu
Agar semuanya lebih baik
Dan terlihat sempurna
Meski kadang dibilang terlambat
Dan kita tak tahu
Kapan tepatnya semuanya benar- benar berubah
Tapi langkah tetap harus berpacu
Ya.. meski kita tidak tahu
Apakah waktu masih menyertai
Saat perubahan benar- benar terlalui
Tapi tentu akan sangat mulia
Jika mati membawa semangat perjuangan akan perubahan
Daripada duduk berpangku
Lalu mati
Lantas hilang diterbangkan angin
Tak berbekas

Rutin Temu

Aku menunggu kau untuk berhenti
Tapi tiap waktu kau selalu menemuiku
Dulu aku menikmati saat ini
Saat santai dan terlepas bebas
Tapi kini sungguh ku akui
Engkau sumber masa jenuhku
Terikat pada kesia- siaan waktu yang terbuang
Aku tahu kau akan kembali
Dan menunggu untuk datang lagi
Terkadang aku juga merasa rindu
Tapi sungguh..
Kini aku berharap kau kembali ...

Untuk Sahabat

Sahabat, tahukah engkau?
Engkau adalah warna dalam hariku
Menemaniku melewati hari- hari
Meski hati dirundung duka sekalipun

Maafkan aku sahabat!
Jika dipertengahan perjalanan kita
Aku selalu begini
Mengacuhkanmu dan hilang kendali

Pahamilah aku sahabat!
Karena baru aku tahu
Aku selalu punya dunia di hatiku
Lali asyik sendiri
Sehingga jarak kita mulai renggang dan menjauh

Sahabat, tahukah engkau?
Hatiku kini hampa dan hilang
Tanpa kamu disisi, tanpa senyummu yang mengisi
Serasa ingin ku masuki lorong waktu
Dan ku benahi semua perkara
Yang telah terjadi dan berlalu

Untuk sahabatku tercinta
Yang disisi dan yang telah pergi
Aku hanya ngin berkata sesuatu
Bahwa aku sangat rindu
Akan semua waktu yang seharusnya terlalui bersama

Sabtu, 15 Oktober 2011

Pemerintahan Negara Indonesia Pasca Reformasi dalam Persfektif Pancasila

        Pemerintahan reformasi berawal dari jatuhnya kepemimpinan orde baru yaitu masa kepresidenan Soeharto. Setelah itu digantikan oleh BJ. Habibi, H.Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, lalu Susilo Bambang Yudoyono yang menjabat dua periode kepresidenan.
       Sejak dahulu, bangsa Indonesia sudah memegang teguh ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Namun baru pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia meresmikan bahwa ideologi Pancasila dijadikan panutan sebagai Ideologi negara.
      Namun seiring bertambahnya usia kemerdekaan, nilai- nilai luhur Pancasila mulai luntur. Warga Indonesia mulai enggan melirik Pancasila sebagai falsafah hidupnya. Tentu hal ini sangat memprihatinkan melihat Indonesia terus mengagung- agungkan Pancasila sebagai ideologi terbaik, tapi kenyataannya tak ada pengamalan.
       PANCASILA
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
        Ketuhanan yang Maha Esa. Rupanya banyak warga Indonesia yang mulai menganggap aspek ketuhanan tidak penting lagi dalam hidupnya. Terbukti semakin kesini banyak WNI yang menganut ajaran atheis atau tak beragama. Jelas hal ini sangat tidak sesuai dengan sila pertama. Pemerintah jangan tinggal diam saja menanggapinya. Masyarakat harus gencar diberi penyuluhan bahwa aspek keagamaan sangat dibutuhkan dalam kehidupannya sehari- hari.
      Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebenarnya untuk sila ini, Indonesia masih belum bisa merealisasikannya. Contohnya praktek Nepotisme. Sampai sekarangpun Nepotisme masih dilestarikan di Indonesia. Hali ini tentu saja tak bisa disangkal oleh siapapun. Coba lihat ke perusahaan atau instansi pemerintah, seseorang yang punya koneksi di lembaga itu akan sangat mudah mendapat kerja dibanding dengan seseorang yang melamar kerja seorang diri dan tanpa koneksi. Sungguh, keadilan tak tergambar sama sekali disini.
      Persatuan Indonesia. Agaknya persatuan Indonesia tak bertambah erat meski sudah 56 tahun meneguk kemerdekan. Perpecahan mulai menampakan diri secara terang- terangan di tubuh nusantara. Contoh terbaru yaitu konflik Ambonpada ahad, 11 september 2011. Konflik yang dipicu SMS provokator yang isinya seorang tukang ojeg bernama Darfing Saiman mati dibunuh ketika mengantar seorang penumpang pada sabtu malam. Sebuah konflik yang dipicu hal sepele ini mampu memnghasilkan pertikaian yang memakan korban. Sungguh, persatuan tak tersirat sedikitpun. Malahan Ambon pernah dipicu konflik pada januari 1999. Kita sebagai warga Indonesia ternyata harus berintrofeksi diri menyadari kesalahan dan meningkatkan persatuan sebagai sebuah kesatuan agar negara tercinta ini tetap ada dan semakin berjaya.
        Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Bijaksana bukan berarti semua aspek harus dapat perlakuan sama rata, tapi arti kebijaksanaan yang sebenarnya adalah menempatkan diri sesuai dengan tempatnya / memperlakukan sesuatu dengan semestinya ia diperlakukan.
      Sila yang ke-4 ini jelas menyuratkan bahwa rakyat Indonesia harus dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana. Dan untuk menghasilkan kesejahteraan rakyat, pemimpin harus bermusyawarah dengan perwakilan rakyat untuk menghasilkan mufakat keputusan yang tentunya bermanfaat untuk kehidupan bangsa.
      Tapi masalahnya sekarang adalah tidak adanya niat bakti tulus dari sebagian besar para tetinggi negara. Tentu saja fakta ini membawa keterpurukan Indonesia semakin dalam lagi. Karena sekarang para tetinggi negara yang tugasnya memperjuangkan aspirasi rakyat malah memperjuangkan kesenangannya sendiri.
      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jelas bercermin dari keadaan sila ke-4 yang tak terealisasikan, sila ke-5 pun tak bisa ditegakkan. Bagaimana keadilan bisa terwujud jika rakyat tidak dipimpin secara adil?
Memang majunya sebuah negara akan terjadi jika ada hubungan kerjasama antara pemerintah dan rakyat dalam membangun negara. Kita sebagai rakyat tentu tak punya hak untuk menyalahkan pemerintah secara terus- menerus, kita sebagai rakyat juga harus ikut berjuang menegakan keadilan. Tapi langkah baiknya jika hati para tetinggi negara luluh melihat kondisi negara yang hampir ambruk, karena keadilan akan berkembang pesat jika mereka ikut bekerja sama.

Sabtu, 08 Oktober 2011

miriss

hari minggu,, orang pada nyantaii,, aku mesti berangkat ke kuliah. jam 7 pagi pula.. awalnya aku udah semangat banget,, mandi subuh2, dandan yang cantik,, terus jam setengah 7 udah nangkring nungguangkutan umum..
nasib sialnya,, angkotnya gak nongol2.. udah nunggu setengah jam lagi..
akhirnya aku nyerah lalu mutusin nati aja masuk pas jam ke.2
setengah sembilan aku udah stand by lagi di tempat tadi, nunggu kereta besi datang menjemput..
heuh!! akhirnya datang juga yang ditunggu.. tapi sialnya aku malah masuk jurusan salah,, harusnya jurusan yang ke kota, aku malah jurusan yang ke kampung..
alamak!! aku dibawa jalan2 .. udah kesiangan, hati dongkol.. nyampe di kampus dosen mata.kull ke 2 udah masuk sejam yang lalu.. nasib!!  akhirnya bolos lagi.. hah!!

Jumat, 07 Oktober 2011

Amarah

Satu hal yang membuat orang yang sedang marah terlihat konyol
Dia tidak bisa mengontrol hatinya, emosinya
Apa yang mau dilakukannya luluh lantak diterkam geloranya
Makanya hampir tak ada orang yang marah terlihat elegan,
Bukan begitu?
Akhirnya dia hanya mampu terdiam lemas
Lalu menangis menyesali
Tapi sejauh dia meronta dan berontak
Angin- angin semilir tetap berhembus melewatinya
kasihan!!

Sedikit Ulasan Tentang Amarah

Jelas aku merasa kecewa
Tapi aku tak mampu melampiaskan semua amarahku
Semua gejolak yang merampas ketenangan hatiku
Baiklah, kamu pasti tertawa lagi
Melihatku kembali melunak dan tersenyum
Karena kamu sudah tahu tabiatku
Yang tak bisa mempertahabkan kebencian lebih lama dari kebanyakan sebntar orang- orang
Aku sudah tahu bagaimana pikirmu tentangku
Tak ada gunanya mencari perkara denganku kan?
Semuanya takan berbalas sempurna seperti yang kau mau
Jadi sekarang mesti gimana sikapku?
Berlarut- larut membencimu?
Agar kamu tak lakukan hal serupa itu lagi?
Agar kamu sadar betapa kau sudah menyakiti hatiku?
Baiklah, meski pikirmu tak berjalan seiring dengan langkahku
Aku akan tetap berjalan ditempat biasaku
Mengabaikanmu yang tetap hadir disampingku

Kamis, 06 Oktober 2011

Sendiri

ku tergantung dalam perasaan yang tak menentu
meniti hati yang tlah kelam dan tak terbangunkan
belenggulah langkah kakiku yang diam karenamu
perlahan mati lalu sirna semua bayangku

Aku diam terhempas pergi
dingin malam merampas hatiku
ku coba terbangun dan bangkit
tapi ku dapati waktu berlari
tinggalkanku sendiri

Door!! Playboy

Ternyata memang benar, perang terdasyat yang dialami manusia adalah perang melawan hawa nafsunya sendiri. Dan yang paling menyebalkan, perang itu selalu melandaku setiap waktu tanpa kenal lelah. Karena setiap waktu aku harus memerangi masalah yang inti masalahnya terletak pada hasrat seksualku yang nyeleneh. Hugft.
Perkenalkan dulu, namaku Raditya Maulana. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara yang jenis kelaminnya semua laki- laki.
Sudah sejak lama aku tahu kalau mama menginginkan anak perempuan saat mengandungku. Dan dari sana bisa ku simpulkan, hasrat nyelenehku mungkin terbentuk karena masa kecilku yang diperlakukan seperti anak perempuan. Mungkin. Aku tak bisa memastikannya karena itu hanya prediksi asal- asalanku agar aku bisa menyalahkanseseorang gara- gara kelainan ini.
Untung saja badanku tegap dan kekar, tidak lembek dan berlenggak- lenggok seperti para banci, karena sesungguhnya aku sangat mengutuk kelainan yang menjangkit hasratku ini.
Aku ingin jadi lelaki normal dan sangat ingin hasrat cintaku tersalurkan untuk para wanita. Oleh karena itu, aku tak pernah bosan berperang dengan hasrat seksualku, memperjuangkan kenormalanku sebagai lelaki yang masih dipertanyakan.
Ujian terberat yang harus aku lalui adalah ketika para bangku , mengajak untuk mandi bareng atau tanding kencing paling lama. Sebisa mungkin aku selalu menghindar dari ajakan mereka, tapi lebih sering ajakan itu akhirnya ku terima.
Aku mulai menyadari kelainan ini sejak kelas satu SMP. Saat itu, aku dan Bang Ali sedang tidur seranjang. Dan di keremangan malam, Bang Ali memeluk tubuhku bagaikan memeluk bantal guling. Erat sekali.
Mungkin saat itu Bang Ali sedang bermimpi, sehingga dia tak tahu kalau jantungku tiba- tiba berpacu dengan sangat kencangnya. Sampai- sampai debarannya bisa ku rasakan sampai ke ujung ubun- ubun kepala. Keringat sebesar biji jagung langsung membanjiri sekujur tubuhku. Dan betapa gerahnya aku saat itu.
Dan yang paling menjijikan, nafasku mulai terengah- engah, seakan- akan hasratku terangsang oleh pelukan Bang Ali. Saat itu juga aku langsung membanting tangan Bang Ali dari atas perutku keas- keras, sampai Bang Ali terbangun dari tidurnya.
Bang Ali langsung memarahiku karena tangannya aku banting ke dinding sampai bengkak. Dia memarahiku tanpa ampun, seakan dia tak melihat ekspresi mukaku yang dilanda ketakukan yang dasyat, sampai- sampai aku hampir kencing di celana saking takutnya. Takut menghadapi kenyataan bahwa ada kelainan yang menjangkit tubuhku.
Amarah Bang Ali akhirnya reda ketika melihatku mulai terisak- isak. Dipikirnya mungkin aku menangis karena dimarahinya, padahal sepanjang amarahnya yang habis- habisan itu telingaku sama sekali tak mendengarnya. Karena pikiranku sibuk dihantui betapa menjijkannya aku kini.
Tahu diriku sudah belok, akupun tak patah semangat. Besoknya aku nekat nembak cewek demi membuktikan aku baik- baik saja. Tapi sialnya cewek itu menolakku. Padahal apa bagusnya dia sampai berani menolak seorang cowok ganteng sepertiku? Cewek cupu dan jelek begitu.
Besoknya aku nembak cewek lagi dan begitulah seterusnya sampai aku dijuluki PLAYBOY. Tapi apalah artinya julukan playboy kalau tembakanku selalu ditolak para cewek sampai saat ini. Aku belum pernah pacaran sekalipun. Mengenaskan.
Hingga akhirnya aku capek sendiri. Aku berhenti asal tembak di usiaku yang menginjak tujuh belas tahun ini, kelas dua SMA. Aku harus fokus pada seorang cewek. Itulah kunci agar tembakanku diterima. Mungkin.
Tapi masalahnya dimataku tak ada seorang cewek pun yang menarik. Bahkan aku lebih tertarik pada Leo, ketua kelas 12A4. Tuh kan mulai lagi !
Oleh karena itu sekarang aku mkir keras siapa cewek inceranku yang layak. Setiap hari ku pandangi wajah setiap cewek sampai dia jengah. Haha. Aku geli juga kalau sudah melihat pipi mereka yang kemerah- merahan. GR.
Tapi sampai kapan aku terus mencari? Aku sudah menghabiskan waktu tiga bulan dengan sia- sia tanpa hasil. Ya Tuhan, bantulah aku!



Fajar telah menyingsing sejak satu jam yang lalu. Kini kami sekeluarga sedang melakukan ritual biasa, berkumpul dan sarapan bersama di ruang makan. Ku lihat Papa, Bang Izal, Bang Rando, Bang Ipang dan Mama sudah menduduki kursi masing- masing sambil menatap ke arahku, semua pasang mata.
“Ada apa?” aku salting sendiri sambil melihat- lihat anggota tubuhku, mencari keanehan yang sebenarnya terletak dalam hatiku.
“tumben penampilanmu berantakan, biasanya kamu rapi banget kayak cewek kantoran,” celetuk Bang Izal, abang pertamaku sambil menyiuk nasi.
“Huss!” Papa menyela Bang Izal.
Deg.
Jantungku kembali berdetak- detak kepanikan. Sebenarnya aku bahagia mendengar celetukan Bang Izal, aku selangkah lebih maju menjadi lelaki sejati. Tapi JANGAN PERNAH ADA KATA CEWEK UNTUK MEMBANDINGKANNYA DENGANKU. Karena aku itu sensitif, mengerti kalian! Teriakku dalam hati.
“Lho Dit, kenapa mukamu merah begitu? Kayak kepiting rebus tahu,” Bang Ipang, abang keempatku berkomentar.
Aku salting lagi dan langsung menyadari kalau aku masih berdiri sedari tadi. Baru saja aku niat hendak duduk, bel rumah kami berdering. Siapa sih tamu sepagi ini? Omelku.
“Biar aku saja Ma, yang buka pintu,” kataku ketika melihat Mama hendak berdiri dari duduknya.
Ku langkahkan kakiku menuju pintu depan. Lalu seperti biasa ku pegang handle pintu dengan tangan kiri. Ceklek.
Wusss!
Serasa ada angin dari surga yang menerbangkan kelopak- kelopak bunga mawar menerpa wajahku. Mataku seakan- akan terhipnotis dan tubuhku seperti tersengat listrik sampai kau. Sungguh, darahku berdesir- desir indah di bawah permukaan kulitku yang panas. Amboy, nikmatnya rasa ini.
Aku masih terpana ketika wajah di depanku tersenyum riang dan berbicara,” Adit! Jadi rumah lo disini?Wah tetanggaan dong sama gue. Hehe. Asyik gue ketemu lagi sama teman lama. Eh kita udah dua tahun yah gak ketemu? Adit! Adit!”
Lenganku digoncang- goncangkan olehnya, seketika aku langsung tersdar dari lamunan dan tersdar bahwa kulit kami kini bersentuhan. Aku kembali merasakan sengatan listrik di seluruh tubuhku.
 “Oh, oh, apa tadi? Lo bilang apa?”
Sial. Kenapa mulutku gelagapan begini? Bikin malu aja.
“Ah elo bengong aja. Masih ingat gak sama gue? Temen SMP, inget gak?”
Ku peras otakku dalam- dalam demi mengingat siapa gerangan wajah ayu nan mempesona ini. Tapi BLANK. Otakku malah nge-hang melihat senyumnya.
“Masa lo gak inget sih? Gue Reva, anak kelas 9F dulu, yamg elo tembak di perpus itu lho, “ Reva membulat- bulatkan matanya di depanku.
“Ah uadah ah! Muka lo tambah bego aja, pasti lo gak ingat sama sekali sama gue ya? Ya udah deh gak apa- apa, nih! Gue cuma mau ngasih ini sama nyokap lo dari nyokap gue. Sekarang kita tetanggaan lho, keluarga gue baru pindah rumah kemarin. Emh udah dulu ya, ditungguin sarapan nih gue. By,” Reva meninggalkanku dengan senyumnya.
Ku pandangi tubuh Reva samapai hilang di balik rumah seberang. Reva, Reva. Betapa beruntungnya aku bisa bertemu akmu kembali karena kehadiranmu mampu menyenth benih- benih cintaku yang sejati. Sungguh Rev, kalu boleh aku ngaku, kamu adalah cewek teristimewa di hati ini. Gumam hatiku sambil tersenyum bahagia.



“Cie, cie, kesamber setan mana nih sampai senyam- senyum gitu?” bang Ali menggodaku.
“Iya nih, matahari aja kalah sama terangnya gigi lo yang kuning. Haha.”
“Rando!” Papa kembali menyela.
Mama lau bangkit dan berjalan ke arahku,” Ini dari tetangga baru kita ya? Siapa yang mengantarnya? Reva atau mamanya?”
“Reva dong,” jawabku cengengesan.
“Reva?” Bang Izal menjerit histeris.
“Kenapa, kenapa, Bang?” Bang Ali ingin tahu. Memang, abang keduaku ini selalu ingin tahu urusan orang.
“Dia kan gadis cantik anaknya tetangga baru kita ya , Ma? Ah, keduluan deh gue,” kata Bang Izal lemas. Sedangkan papa hanya geleng- geleng kepala melihat tingkah anak- anaknya.


Sebenarnya ini bukan merupakan kebetulan semata aku bisa duduk bersebelahan dengan Reva di bangku taman komplek. Seharian tadi aku sibuk jadi detektif kacangan, mengikuti Reva kemanapun ia pergi. Ke mall, toko buku, tanah abang sampai ke tukang jahit.
Lalu akhirnya aku menampakan diri juga di hadapannya karena aku tak tega melihat barang bawaannya yang selangit. Tapi jelas dong, aku tadi sedikit mengeluarkan bakat aktingku waktu bertemu dengannya. Ya, seolah- olah kami bertemu hanya kebetulan semata. Haha.
Setelah dia mau naik ke boncengan motorku, aku langsung membelokan niatnya, yang tadinya mau langsung pulang, aku ajak dulu duduk di bangku taman. Lalu ku belikan dia ice cream, agar kami bisa duduk lebih lama di taman. Taktik dong, Man.
“Wah beneran, Rev?”
“Iya, dulu sebenarnya gue juga suka sama elo. Malahan teman cewek sekelas gue pada berebutan pengen jadi pacar elo. Tapi ya itu dia, lo nembaknya suka gak sadar tempat. Trus udah gitu lo suka maksa lagi pengen dijawab saat itu juga. Haha. Padahal ya Dit, sebenarnya waktu itu gue bukan nolak elo, tapi pengen mastiin dulu lo nembak gue karena gue cewek spesial gak di hati hati elo. Eh ternyata standar- standar aja deh posisi gue, jadi males deh nerimanya. Haha.”
Pipiku merah, malu juga aib gue dibuka blak- blakan gini.
“Ih kenapa lo diem mulu sih daritadi?”
“Gue lagi pengan curhat ke elo Rev.”
“Curhat apa?”
“Lo kan tahu pengalaman cinta gue ditolak mulu, jadi gue pengen minta solusi sama lo. Ya bagusnya gue harus ngapain kalo mau nembak cewek biar diterima.”
“Oh, jadi ceritanya lo mau nembak cewek?”
Aku mengangguk mantap.
“Pertama lo harus ngebuat cewek inceran lo merasa spesial di hati lo. Trus lo cari tempat romantis, trus lo pegang deh tangannya, tatap kedua matanya lalu nyatain deh cinta lo. Dijamin, tokcer deh.”
“Emh, boleh tahu kriteria tempat romantis menurut lo?”
“Gue sih lebih suka tempat sepi, pokoknya tempat yang alamnya masih terjaga. Ya misalnya pegunungan, puncak, taman, laut, banyak deh,” pandangan Reva memandang lurus ke depan sambil berhayal.
Segera ku raih jemari Reva dan ku simpan erat di kedua genggaman tanganku. Reva tersontak kaget dan memandangku dengan tatapan terkejut. Aku sih cuek- cuek saja, sambil tersenyum meyakinkan.
“Gue suka sama lo, Rev. Sungguh, sejak kita bertemu kembali seminggu yang lalu di rumah gue.”
“Ya ampun Dit, gak usah dipraktekin sekarang,”jawab Reva salting.
Aku tersenyum.
“Rev, lo mau jadi pacar gue? Jadi cinta pertama dan pertama cinta gue?”
Reva lalu menunduk setelah ku lihat pipinya bersemu merah dan bibirnya tersenyum kegirangan.
“Diam tanda nerima lho,” godaku.
“Kalo bicara juga aku terima kok,” ucap Reva akhirnya.
“Cihuyy!!”

Terindah denganmu

Tak pernah ku jejaki mimpi
Berlindung di bawah teduh mentari
Kau…
Kerlingan matamu
Menjarah halus setiap detikku

Kau…
Tenangkan pikirku
Jauh merasakan setiap napasku

Ku takan tinggalkanmu
Menjauhi rasaku

Semua perihku bersatu perihmu
Lembut ku sentuh hangatmu
Dengan inginku

Tentang Semua Kasih Sayang Mama

Mama menamparku lagi. Perih. Pipiku yang membengkak dibanjiri luapan air mataku. Hati- hati ku sentuh pipiku yang nyeri.
“Itu balasan untuk anak kurang ajar sepertimu!” ucapnya.
Lantas pergi keluar rumah. Selalu begitu. Mama selalu meninggalkanku setelah aku ditamparnya.
Dengan susah payah, ku gerakan kakiku menuju sofa. Sekedar penghilang pegal akibat lama berdiri. Tapi sama sekali hatiku tak pernah terobati. Terlalu lama hatiku sakit dan menumpuk ketidakberdayaanku.
Ku usap lagi pipiku. Mataku terpejam sambil merasakan betapa sakitnya tamparan mama. Ku usap lagi. Dan sakit itu semakin menyakitkan, menusuk hatiku yang sudah lama tak pernah menjumpai kesembuhan.

“Kamu itu anakku, jadi kamu harus menuruti perintahku!” ucap mama pada malam harinya.
Aku yang sebenarnya sedang pura- pura belajar merasa sebal mendengar ucapannya. Seakan tak ada kata manis yang lain yang diucapkannya padaku untuk memenuhi perintahnya. Ku goreskan pulpenku dalam- dalam di atas selembar kertas HVS.
“Aku selalu berusaha menjadi anak penurut,” akhirnya itulah kalimat yang terucap dari bibirku.
“Kalau begitu, besok dan seterusnya kamu harus sekolah dengan sungguh- sungguh!”
Alah….Sekolah! Sekolah! Apa sih gunanya sekolah? Pinter enggak, kaya enggak. Mendingan aku serius menekuni pekerjaanku selama ini. Melayani om- om kesepian.
Om Beni, dia pelangganku dua bulan terakhir ini. Dia pelangganku yang sangat aneh. Buat apa coba menyewaku dengan harga yang sangat mahal dan melarangku untuk melayani pelangan- pelangganku yang lain kalau tidak untuk bermain di dalam kamar tidur?
Tapi sampai saat ini kami belum pernah melakukannya meski Om Beni sudah ku rayu puluhan kali. Hal ter-romantis yang dilakukannya hanya merangkul pinggangku. Hanya itu. Sering aku curi- curi mencium pipinya yang gembil, tapi lebih sering seranganku tak pernah berhasil. Hehe.
Tapi aku sangat senang punya pelanggan tunggal macam Om Beni itu, karena aku bias belanja apa saja tanpa batas. Dia pengusaha yang sangat kaya dan tak beristri.
Mungkin dugaanku benar, kalau Om Beni itu impotensi. Makanya dia hanya menyewa pelacur amatiran seperti aku. Tapi sungguh, aku tak pernah peduli dengan masalahnya ataupun penyakitnya, yang pentingkan segala keperluanku terpenuhi. Ya gak?
“Mama ingin kamu menjadi orang sukse.”
Suara mama menyadarkanku dari lamunan.
“Mama berharap dari mulai malam ini kamu berhenti jadi pelacur,” suara mama semakin meredup.
Deg!
Darahku berdesir menyapu tubuhku dngan cepat. Jantungku bertalu- talu. Mukaku panas seperti terbakar api dan ujung- ujung jariku mulai mendingin.
“Dari mana mama tahu?”
Lho kok suaraku jadi bernada sinis begini? Atau jangan- jangan aku terlalu gugup karena rahasiaku terbongkar mama hingga menjdikanku sinis begini? Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan hatiku sebenarnya, takut dan resah.
“Sudah sejak lama.”
Deg!
Darahku semakin berdesir kencang. Jantungku semakin cepat berpacu. Jadi…
“Jadi itu alasannya kenapa mama selalu menamparku tanpa alasan?”
“Itu salah satunya.”
Hening. Yang terdengar hanya suara jantungku yang berdegup tak tahu malu dan gemerisik angina yang mengusik dedaunan di luar sana.
“Mama tak suka kamu berhubungan dengan klienmu yang sekarang ini.”
Om Beni? Ada apa dengan Om Beni?
“Jadilah anak yang baik!” lantas mama masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya.
Tapi…. Ya ampun! Apakah itu benar- benar terjadi? Apakah aku benar- benar melihatnya? Mama menangis? Tadi ku lihat air matanya menetes sebelum ia menutup pintu kamarnya.
Jadi segawat apa masalah ini? Kenapa aku merasa masalah ini biasa- biasa saja? Aku anak nakal, sering bolos sekolah, jadi seorang pelacur dan,,,, punya pelanggan Om Beni.
Tapi mama? Aku hapal betul, air mata mama hanya akan menetes untuk satu hal yang sangat berharga dan disayanginya. Sebelum malam mama, air mata mama hanya mengalir saat nenek berpulang ke Penciptanya. Dan semahal itu.
Akhirnya dengan hati remuk redam aku menangisi ketidaktahuanku. Mengapa aku tak pernah mengerti jalan pikiran mama? Mengapa aku tak pernah mengerti bentuk kasih saying mama padaku sampai sekarang ini? Aku semakin tersedu- sedu.

Keesokan paginya mama mengetuk pintu kamarku ketika aku sedang memoles pipiku dengan bedak baby.
“Cass, Rama udah nunggu kamu diluar,” ucapnya.
Rama. Dia itu tetanggaku, teman sekelasku sekaligus teman baikku. Dia selalu mendengarkan keluh kesahku dengan penuh perhatian. Kami selalu berangkat sekolah bersama.
Kami tak pernah pulang sekolah bersama karena aku mulai bekerja saat bel pulang sekolah berbunyi. Dan catatan! Di sekolahku hanya Rama yang tahu kalau aku seorang pelacur. Hanya dia.
Ceklek.
Pintu kamarku terbuka. Dan satu pemandangan yang membuatku terharu semakin bertambah banyak, mama menyiapkan bekal makananku. Aku menerimanya sambil tersenyum tulus. Lantas aku berjalan keluar rumah sambil terburu- buru. Ada satu cerita lagi yang ingin ku ceritakan pada Rama.

“Tuh kan apa yang gue bilang, gak mungkin dong seorang ibu gak saying sama anaknya.”
“Bukannya gitu Ma, gue ngerasa sureprise aja gitu,” aku senyam- senyum sendiri.
“Sekarang kan mama kamu udah berubah, kapan kamu mau berubah?”
Deg!
“Maksudnya?” tanyaku penuh selidik.
Rama menarik napas dalam- dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Serapat- rapatnya kita nyembunyiin bangkai pasti bakalan kecium juga bau busuknya. Emang lo mau, satu sekolahan tahu profesi lo?”
“Makanya mulut lo jangan jadi ember!” aku mulai kesal.
“Sorry deh, kalo ucapanku barusan nyinggung hati lo. Gue gak maksud kok. Cuma gue gak mau nama lo tercemar,” akhirnya Rama minta maaf setelah lama aku tak buka suara lagi.
“Dimaafin gak? Kok diem mulu sih?”
“Makanya lo jangan menggurui gue kayak gitu.”
“Oke deh geu gak bakalan komentar lagi soal profesi lo,” kata Rama sambil mengacungkan dua jarinya.
“Gitu dong.”
“Tau gak? Lo disalamin tuh sama si Nino.”
“Kelas berapa?”
“Sekelas sama gue dodol! Kemana aja sih lo? Si Nino kan kapten basket, masa gak kenal?”
“Oh… yang gue kecengin waktu kelas satu ya? Hehe… gue lupa,” aku nyengir kuda.
“Ayo lari!”
Rama menggenggam pergelangan tanganku dan membawaku berlari ketika dilihatnya pintu gerbang sekolah hamper tertutup.

Ini untuk pertama kalinya aku dan Rama pulang sekolah bareng. Karena sejak aku kelas tiga SMA ini, aku mulai sibuk menggeluti pekerjaanku.
Aku terkejut buakn kepalang ketika sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah kumuhku.
Om Beni? Kenapa dia disini? Dari siapa dia tahu rumahku? Padahal aku tak pernah memberi tahu alamatku padanya. Dan setiap kali aku diantarkan pulang olehnya pun, aku selalu turun di bundaran depan, lima kilo meter sebelum sampai rumahku.
Semakin mendekati pintu, aku semakin mendengar samar- samar suara dari dalam rumah.
“Aku menghargainya meski kamu terlalu sombong untuk mengetahui aku itu menyayanginya,” Om Beni.
Jadi…. Mereka saling kenal? Lalu aku semakin tertarik menempelkan daun telingaku ke pintu. Semua itu murni terdorong rasa ingin tahuku, hanya itu.
“Dan tak usah kau sangkal lagi kalau kamu sudah menodainya.”
Natali, seburuk apa sih derajatku dimatamu?”
“Aku tahu sifatmu.”
“Aku sudah berubah, Na! Apa kamu gak lihat?”
Hening. Jantungku kumat lagi, deg- degan tak beraturan.
“Anak aku jadi pelacur gara- gara kamu! Karma! Aku benci kamu!” mama sepertinya terisak.
Deg!
Jadi mereka membicarakanku? Membicarakan tingkah nyelenehku? Dan mama terisak untukku? Seberharga itukah aku dimatanya? Dan perlahan air mataku mulai menitik. Hatiku semakin tak menentu.
“Aku sangat berusaha menjaganya,” dua menit dilalui keheningan, hanya itulah kalimat Om Beni.
“Percayalah, Na! Aku mencintainya.”
Aku tersenyum samar.
“Lagi ngapain?” bisik Rama di telingaku.
Mungkin aku akan berteriak kaget kalau seandainya aku tak bias menguasai diri. Kehadiran Rama disampingku saat ini benar- benar telah membuatku kaget setengah mati.
“Sst! Dengerin aja!” jawabku setengah dongkol.
Rama jadi ikutan nguping.
“Aku sudah melarangnya berhubungan dengan orang- orang brengsek lagi, Na. Aku juga selalu memenuhi kebutuhannya. Dan aku merasa…. dia bahagia.”
“Jangan sok tahu! Aku yang sudah membahagiakannya.”
Puah. Aku mencibir dalam hati. Membahagiakan apa? Tiap hari aja makannya sama tempe melulu.
“Jangan terlalu sombong, Na! Sebanyak apa sih penghasilanmu mencuci baju keliling cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian berdua?” suara Om Beni melembut.
Mama sepertinya terdiam.
“Aku mencintaimu, Na.”
Rasa mual tiba- tiba mencekik leherku. Huh, dasar musuh dalam selimut! Aku mengumpat mama.
“Dan aku sangat mencintai anakku, Na. Anak kita berdua.”
Derr!
Serasa petir telah menghantam tubuhku tanpa ampun. Jiwaku serasa melayang. Linglung. Rama memeluk tubuhku sebelum aku ambruk. Tapi aku malah memuntahi dadanya.
“Uhekk… Uhekk…”
Bayangan terakhir yang masih ku ingat adalah bayangan mama dan Om Beni mengelilingiku dengan tatapan khawatir dan muka pucat. Lantas semuanya gelap.

Sudah lima belas menit aku mondar- mandir menunggu Rama. Sebentar lagi pestanya akan mulai, pesta [ernikahan mama dan Om Beni ups… papaku untuk yang kedua kalinya.
Sebenarnya sampai saat ini pun aku masih belum mengerti tentang hubungan orang tuaku. Yang ku tahu mama minta cerai sama papa waktu aku masih bayi gara- gara papa ketahuan selingkuh.
Dan mengingat kejadian itu… Ah yang penting sekarang aku sudah menjadi anak yang baik, setidaknya menurut mamaku. Aku pension dari pekerjaan lacurku dan selalu belajar setiap malam.
Aku tersentak dari lamunan karena tiba- tiba jari- jariku sudah berada dalam genggaman Rama. Dari kapan dia berada di depanku? Dan mataku melotot tak percaya saat punggung tanganku dibawa Rama mendekati bibirnya. Muah.
“I love you,” ucapnya.
Aku tak merespon pernyataan Rama karena tiba- tiba darahku berdesir aneh.
“Cepetan dong jawabnya! Bentar lagi pestanya mau mulai.”
“Mmh….”
Rama menungguku dengan wajah tak sabaran.
“Nanti aja deh jawabnya,” kataku sambil menyeret Rama ke dalam pesta.
“Gak mau ah,” Rama sedikit berontak.
Aku mencubit pinggang Rama. Tiba- tiba saja dia berhenti dan menatapku penuh arti. Dan secepat kilat tangannya sudah memeluk pinggangku.
“Makasih Cass, aku tahu kamu gak mungkin nolak aku.”
Aku menjulingkan mataku sambil menatap matanya. Rama salah tingkah.
“Cubitanmu di pinggangku artinya iya kan? Kamu kan selalu gitu kalau kamu setuju?” tanyanya sedikit gugup.
Aku tersenyum jail dan,” Iya deh. Aku terima cintamu,” kataku sambil mengajak Rama menuju tempat papa yang sebentar lagi akan akd nikah. Dan sepanjang jalan aku terus mencubit pinggangnya. Gemas.

Tentangku

Angin….aku ingin kembali
Aku memang tak berguna
Tak berbentuk prasasti bidadari
Dan asal kau athu
Hatiku sekelam dalamnya samudra

Aku ingin berteriak
Aku tak kuasa
Aku malu

Dan jika aku lakukan semua keinginanku
Mungkin aku akn lebih tersesat lumpur hitam itu
Semakin nyata menggerogoti tubuhku
Hingga mata ditumbuhi akar- akar benalu

Aku tak mau
Aku sepi sekarang ini
Kian detikku
Kian hilang kulitku yang merana
Kasih suci yang segar surgawi
Aku rindu dahulu
Aku rindu saat aku
Masih tertawa di bawah rintik hujan sore

Sebuah Cerita

Aku tak mengerti
Dengan rasaku
Semua membisu
Meninggalkanku

Seakan rindu tak pernah tahu
Aku menunggumu
Tuk menjemputku

Hatiku kembali pilu
Meresapi arti sebenarnya

Semua bayangmu
Semua tentang bayangmu
Aku disini
Berharap kau disini

Malam- malamku
Malam- malam denganmu
Semua kembali
Takan pernah terjadi

Jangan Pernah Menduga!

WANITA RACUN DUNIA.
Bah! Salah besar! Siapa sih orang yang membuat omong kosong itu? Pasti lelaki, dasar lelaki menyebalkan! Harusnya yang jadi objek omong kosong itu adalah lelaki, karena lelak itu racun dunia yang menyebalkan. Titik. Setidaknya itulah yang ku alami.
Sumpah! Aku punya anggapan itu bukan karena aku selalu diselingkuhin sama semua mantan pacarku, bukan! Tapi masalah yang aku alami lebih parah dan lebih menyakitkan daripada diselingkuhi. (Masa?)
Well! Setidaknya saat aku mendapati hatiku hancur berkeing- keping ketika ku pergoki pacarku sedang berselingkuh, aku masih punya dua sahabat gila yang selalu menghiburku dan selalu menyemangatiku dengan kata- kata, “Ayo bangkit, Sa! Dunia masih menunggumu meski sekarang kamu sudah putus sama….” (Silahkan kalian isi dengan salah satu nama dari ketujuh mantanku yang menyebalkan!)
Kami. Aku, Yessi, Leni. Sudah menjalin persahabatan dari kelas satu SMP sampai sekarang ini, sampai kami kuliah tingkat dua di salah satu Universitas keren di kota kelahiran kami tentunya. Dengan usia persahabatan yang hampir menginjak ke- delapan tahun, kami sudah serasa jadi anak kembar tiga.
Tahun- tahun kami lalui dengan penuh perjuangan. Saat bahagia, sedih, kesal, kecewa, patah hati, bokek, marah, dikucilkan. Kami selalu berhasil melaluinya bersama- sama. Tak bisa ku bayangkan kalau takdirku mengatakan aku tak bertemu mereka, mungkin aku akn tumbuh menjadi wanita cupu yang selalu duduk di kursi belakang di pojok kelas. Ughh…. menyedihkan!
Tapi semua keindahan dan keakraban kami berhasil dijungkir  balikan oleh seorang makhluk yang menyebalkan. Hebat sekali kan dia? Aku pasti akan bertepuk tangan kagum kalau saja aku bukan korban keisengannya.
Ya, orang hebat itu memang seorang lelaki. Dan sumpah mati aku sangat membencinya. Meski setiap waktu aku selalu mengutuk betapa jelek wajahnya, atau betapa bau keteknya, bahkan betapa nista hidupnya. Tapi ternyata rasa benciku lebih besar daripada itu semua.
Fakta yang membuat lelaki menyebalkan itu jadi semakin hebat, ternyata dia seorang lelaki tampan yang kaya raya. Dia anak dari Ketua Rektor kampusku dan anak dari seorang pengusaha restoran sunda yang sukses, sangat sukses, sukses sekali.
Ckckck.
Sekarang tinggallah aku yang selalu meratap dan menangis tersedu- sedu di atas tempat tidur setiap waktu. Aku yang telah ditinggalkan duniaku dan dicampakkan oleh kedua sahabat terbaikku. Oh, anak tunggal yang menyedihkan!
Rizky  Purnama.
Makhluk yang punya nama itulah yang mampu membuatku jadi wanita kerdil yang menyedihkan dan sangat pantas dikasihani di dunia ini. Sialan! Pokoknya aku bersumpah, semoga dia dan kehidupannya lenyap dari kehidupanku untuk selama- lamanya. Harus berapa kali sih aku bersumpah kalau aku itu sangat membencinya?
Aku sangat yakin bahwa kejadian naas yang menimpaku kini berawal dari sini….


Saat itu aku masih tingkat dua awal dan masih aktif di Organisasi Hima (Himpunan Mahasiswa). Aku sedang membawa proposal kegiatan Inagurasi dan sedang berjalan terburu- buru ke kantor BEM ketika tali sepatu kets-ku terlepas dan aku tanpa sengaja menginjaknya.
Alhasil, tubuhku limbung dan sebentar lagi aku akan jatuh tersungkur. Sebelum semuanya terjadi, pipiku sudah bersemu merah duluan karena malu. Karena aku menyadari, aku kini sedang berada di pinggir lapangan basket yang sedang mengadakan kejuaraan. Bisa dibayangkan betapa banyaknya orang disekelilingku saat ini? Dan aku harus jatuh disini? Oh no! Aku lebih baik mati kebosanan membaca verjudul- judul buku tebal di perpustakaan.
Untunglah, sebelum semuanya terjadi, Rizky datang menolongku. Dengan sidap, dia meraih tubuhku yang limbung dan kembali membuatnya berdiri tegak.Selamet! Selamet! Aku mengelus dada.
“Terima kasih,” ucapku, lalu aku kembali berjalan.
“Mau kemana sih? Buru- buru amat. Kamu tadi hampir jadi bahan tertawaan kalau saja kamu benar- benar jatuh,” kata Rizky sambil berusaha mensejajari langkahku yang sudah terayun lagi.
Thanks, Ky. Untung kamu datang tepat waktu,” ucapku tulus.
“Eits, bantuanku tidak gratis lho.”
“Maksudnya?” aku menghentikan langkahku, begitu juga dengan Rizky.
“Ngobrol disana yuk! Ada sesuatu yang penting yang mesti aku obrolkan dengan kamu,” dengan dagunya, Rizky menunjuk ke bawah pohon jambu air yang rindang.
“Ok, tapi nanti ya. Sekarang aku harus ke Ruang BEM, nih ngasihin proposal.”
Lalu aku kembali berjalan dan Rizky juga mengikutiku.
“Mau ke Kak Gumilar ya?” tebak Rizky.
Aku mengangguk tanpa menoleh ke arah Rizky.
“Dia lagi ada kelas, percaya deh sama aku! Tadi aku lihat dia masih di kelas waktu aku baru aja beres mata kuliah.”
“Ya sia- sia dong langkah seribuku,” kataku sambil berhenti berjalan.
“Makanya agar langkah seribu kamu bermanfaat, mending kamu bantu aku saja!”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Kesana yuk! Ceritaku panjang lebar,” ajak Rizky.
“Baiklah,” kataku mengiyakan.
Lalu kami berdua menuju tempat di bawah pohon jambu air yang tadi ditunjuk dagu Rizky, tempat ini lumayan jauh dari keramaian.
“Apa?” tanyaku setelah pantatku benar- benar menyentuh tanah.
“Comblangin aku dengan Leni dong! Aku suka sama dia sudah lama nih. Eh, dia masih jomblo kan?”
Aku tersenyum bahagia mendengar pengakuan Rizky barusan. Yap! Aku mendukung seratus persen kalau Rizky nanti jadian sama Leni.
Siapa yang tak bahagia coba, kalu teman dekatnya ditaksir oleh anak Ketua Rektor yang tampan ini. Leni pasti akan meloncat- loncat kegirangan begitu ku beri tahu berita mengejutkan ini. Dan benar saja, ai tak hanya melompat- lompat, tapi sambil memukul- mukul kecil seluruh tubuhku saking gembiranya.
Oh, aku hampir lupa. Sudah setahun ini, kami bertiga memang menyandang status jomblo. Dasar anak kembar, nasibnya tak akan jauh berbeda. Betul kan?
Tapi setelah tahu kalau Rizky naksir Leni, aku dan Yessi berubah status jadi Mak Comblang yang baik. Tapi karena Rizky dan Yessi tetanggaan, Rizky lebih banyak minta bantuan dan curhat ke Yessi. Tak apa- apa, toh aku masih tak akan ketinggalan cerita.
Ketika masa PDKT sudah menginjak hari ke sebelas, Yessi malah pergi ke Bogor untuk menjenguk neneknya yang sakit. Dia di Bogor selama tiga hari. Dan dari sinilah aku mulai membenci RIZKY PURNAMA.
Entah karena hubungan Rizky- Leni sudah semakin dekat atau karena masa PDKT-nya sudah lumayan lama, Rizky mulai mengurangi meminta bantuanku.(Yessi tentu saja tidak menyadarinya karena ia masih di Bogor) pokoya Rizky sekarang lebih memilih melakukan sekehendak hatinya tanpa minta saranku atau memberi tahuku kalau mau jalan bareng denag Leni. Ok, itu masih bukan apa- apa karena masalah sebenarnya bukan itu.
Aku ingat saat itu aku dan Leni sedang duduk di Kedai Mie Bakso ketika Rizky datang menghampiri. Dan tentu saja, aksi PDKT-nya mulai beraksi lagi.
Dia ikut- ikutan memesan Bakso dan mulai ngobrol ngalor- ngidul tanpa melihat wajahku sama sekali. Dia hanya melihat wajah Leni, dan tentu saja ia hanya ngobrol dengan Leni seorang.
Aku sangat marah. Bukan marah karena cemburu melihat kedekatan meraka, tapi aku marah karena berani- beraninya mereka menjdaikanku kambing congek setelah aku sangat berjasa mencomblangkan mereka. Keterlaluan!
Hallo! I’m Here! Aku sedang disini dan sedang mendengarkan kalian bertukar cerita dengan serunya. Dan saking serunya kalian melupakan aku. Sit!
Aku melipat tangan di dada dan mengerucutkan bibirku saking marahnya, tapi mereka sama sekali tak menyadarinya. Dan sepertinya mereka benar- benar tak peduli sedikitpun.
Ok, aku mengerti kalu mereka ini sedang PDKT. Tapi jangan gini dong! Emangnya dunia Cuma milik kalian berdua apa? Hingga kalian asyik sendiri tanpa pedulikan sekeliling. Parah! Mash PDKT aku sudah dicuekim begini, gimana nanti kalau sudah pacaran?
Statusku sebagai Mak Comblang, kini berubah permanen dengan elar KAMBING CONGEK SEJATI. Menyedihkan! Aku diperlakukan seperti ini selama tiga hari berturut- turut. Tapi ku pedam saja marah dan kesalku dalam hati.
Sampai suatu saat di sore hari, ketika kami bertiga (Leni tidak ikut karena masih ada mata kuliah) akan pergi menonton film di bioskop, sengaja aku mendahului langkah mereka, lalu aku masuk mobil duluan dan duduk di sebelah jok pengemudi. (biasanya aku duduk di jok belakang dan jadi kambing congek. Tapi kali ini OGAH!)
Lalu Rizky dan Leni tiba di sisi mobil. Ketika Rizky membuka pintu mobil untuk Leni, dia terkejut setengah mati karena di jok di samping pengemudi( yang tadinya buat Leni) sudah aku duduki.
Dengan halus Rizky berkata,” Maaf Sa, bukannya tidak sopan. Tapi ini buat duduknya Leni. Kamu duduk di belakang saja ya!”
Darahku sudah mendidih di ubun- ubun kepala. Aku yang daritadi sudah uring- uringan gara- gara gejala PMS, kini semakin menjadi- jadi tingkat kemarahan yang mendidih di kepalaku. Wajahku sudah merah padam dibuatnya. Aku hanya perlu waktu untuk meledakan amarahku. Jika Rizky berusaha keras menyuruhku didik di jok belakang, itulah saat yang tepat untuk meledak.
 “Tak apa- apa kok, Ky. Aku duduk disini saja,” kata Leno yang ternyata sudah nangkring di jok belakang.
“Tapi kan Len…..” suara Rizky menggantung, menandakan dia sangat keberatan sekali.
“Jadi lo mau gue duduk di belakang?” aku mendorong tubuh Rizky tiba- tiba.
Sumpah! Aku merasa sangat marah saat ini.
“Heh Rizky! Emang lo itu siapa, berani nyusur- nyuruh gue, hah! Terserah gue dong mau duduk di belakang kek, di depan kek, mau di atap juga itu hak gue. Ngerti lo!
Dan satu hal lagi! Gue muak jadi kambing congek. Emang gue tahan apa jadi kambing congek kalian setiap hari, hah? Ya, kalau kalian lagi jalan berdua, kalian bisa merasa dunia ini hanya milik kalian. Tapi please dong, kalau lagi jalan sama gue jangan buat gue serasa hilang dri muka bumi. Bisa gak sih?
 Inget! Gue itu salah satu orang yang berjasa membuat hubungan kalian jadi deket. Tapi lihat apa balasannya? Gue dijadikan kambing congek sama kalian. Dasar hah, gak tahu rasa terima kasih banget sih!” aku merasakan dadaku naik turun.
Ku lihat  Leni dan Rizky jadi membeku, mungkin mereka tidak menyangka aku akan semarah ini gara- gara ulahnya sendiri.
“Dasar, baru PDKT saja kalian sudah berani ngejadiin aku kambing congek, apalagi nanti kalau kalian sudah jadian. Mau jadikan aku mumi? Ih, sorry!” ledekku.
“Minggir lo!” aku mendorong tubuh Rizky agar benar- benar menjauh dari pintu obil disebelahku.
Dan untungnya saja dia mau aku dorong gitu saja tanpa komentar sedikit pun. Lalu aku berlari menjauhi mereka. Berlari sejauh mungkin dari mereka.


Ok, semenjak kejadian itu aku mulai menarik diri apabila aku, Leni dan Yessi sudah membicarakan Rizky. Sumpah mati, aku sangat muak mendengarnya. Aku memang sudah memaafkan Yessi, karena saat itu juga Yessi berlari mengejarku. Lalu ia memelukku dari belakang sambil menangis dan mengucapkan beribu- ribu maaf. Tahu apa yang ku lakukan saat itu? Aku menepis tangan Leni dari tubuhku hingga pelukannya terlepas, lalu aku menghentikan taksi dan memasukinya tanpa berkata sepatah kata pun. Keren kan! Tapi malamnya aku memaafkannya juga.
Tapi imbas dari kejadian itu, aku benar- benar memusuhi Rizky. Pokoknya aku tidak mau melihatnya, tidak mau berlawanan arah dengannya, tidak mau ikut dengannya dn tak pernah nimbrung kalau kedua temanku sedang membicarakannya. Dan hal yang membuatku semakin membencinya, setelah kejadian itu ia tidak pernah berusaha meminta maaf padaku. Ok, mungkin aku tak punya kedudukan di hatinya, bahkan sebagai orang yang pernah berjasa dalam hidupnya. Dan untungnya, aku sudah benar- benar tak peduli lagi padanya.


Ternyata Rizky Purnama itu benar- benar tak punya malu. Delapan hari setelah kejadian itu, tiba- tiba dia bertamu ke rumahku pada jam setengah delapan malam. Sialnya, malam itu tepat malam minggu.
Kalau saja bukan aku yang membuka pintu, aku pasti tak akan pernah mau menemuinya. Kepalang basah, kami sudah bertatap muka.
“Masuk!” kataku.
Lalu aku ngeloyor masuk duluan ke ruang tamu. Lalu aku duduk dan menyilangkan tangan di dada, menunggu si tamu tak punya malu itu duduk di depanku. Ok, sebagai tuan rumah, aku ingin memberikan kesan yang baik bahkan oleh seseorang yang aku anggap musuh (masa?) sekalipun.
“Biiii, ambilkan minum dong! Ada tamu tak diundang niiihhh!” teriakku lantang.
Lalu tatapanku terkunci rapat pada sosok Rizky yang sekarang sedang duduk dengan canggungnya di depanku.
“Ada apa?’ tanyaku tanpa tedeng aling- aling.
“Aku mau minta maaf, Sa,” katanya sambil menunduk.
“Terus, ada apa lagi?”
“Emmhhh….” Rizky terlihat gusar.
Aku tersenyum kecut.
“Kalau sudah tidak ada apa- apa lagi, sebaiknya kamu pulang saja karena di rumah ini tidak jualan MAAF, dan kalaupun ada aku tak akan membaginya denganmu. Ngerti!”
Rizky terlihat sangat salah tingkah. Mungkin kedatangan Bi Suti sedikit menyelamatkannya dari kecanggungan. Setelah Bi Suti tak ada, Rizky lalu meminum the di hadapannya, kelihatan sekali kalau ia sedang gugup.
“Kamu juga boleh menghabiskan minumanku kalau kamu memang benar- benar haus,” kataku ketus.
Rizky lalu menyimpan cangkir tehnya dengan tangan sedikit bergetar. Lalu Rizky menatapku. Sebenarnya aku sangat risih dengan tatapannya, tapi aku tak boleh kalah. Ku tatap balik matanya sampai Rizky menunduk. Yes! Aku menang.
“Terima kasih, Sa. Tapi aku masih punya sesuatu yang mesti aku ucapkan padamu malam ini.”
Aku menunggu dalam diam, menunggu kalimat selanjutnya dari mulut Rizky.
“Aku tahu kamu sekarang sedang marah padaku. Aku minta maaf banget kalau perlakuanku dan Leni saat itu sangat menyinggungmu. Istilahnya ya… aku tak tahu balas budi lah, kamu sudah bantuin aku, eh.. akunya malah nyuekin kamu,” Rizky mengambil nafas berat.
Sedari tadi aku memang sudah mengunci pandanganku pada Rizky, jadi aku tahu setiap gerak- geriknya dan setiap perubahan emosi dalam nada bicaranya.
“Aku baru sadar sesuatu Sa, saat kamu marah besar padaku saat itu. Sejak saat itu aku terus memikirkan apakah sesuatu itu benar- benar nyata dan mengalahkan yang pernah terjadi.”
“Sesuatu apaan sih? To the point saja deh, kalau sedang marah aku memang selalu lemot.”
“Baiklah, Sa. Ternyata selama ini bukan Leni yang aku suka. Ternyata ada seorang gadis enerjik penuh pesona yang mampu mencuri hatiku.”
Darahku bergolak mendengar pengakuan Rizky barusan. Berani- beraninya ia bicara begitu di hadapanku. Bicara yang secara tidak langsung merencanakan akan menyakiti hati Leni. Sialan!
“Percayalah, Sa! Gadis ini gadis terbaik dari semua gadis yang pernah aku kenal. Dia sangat unik dan mampu menyuarakan isi hatinya bila tidak berkenan, dan aku menyukai gais seperti ini. Pokoknya hatiku hanya untuknya seorang, Sa.”
Bah! Apa peduliku? Yang ku pedulikan sebentar lagi kau akan menyakiti Leni, Bajingan! Padahalkan kamu tahu sendiri, Leni itu sangat mencintaimu, kenapa ia kamu sia- siakan hah! Dasar lelaki syaraf! SYARAF!
“Memangnya siapa sih gadis itu? Malang sekali dia,” makiku.
“Gadis pemberontak yang mampu memporak- porandakan hatiku, Sa.”
“Jangan keluarkan gombalanmu disini deh, gatal nih kuping dengarnya juga. Siapa sih dia?”
“Kamu, Sa. Aku menyukaimu sejak saat kamu marah tempo itu. Dan setelah ku pikir- pikir, ternyata aku juga sangat mencintaimu.”
“KELUAR KAU DARI RUMAH INI!!”
Aku berteriak sekaras mungkin dan tanganku sudah menunjuk ke arah pintu keluar. Aku merasakan mataku berasa hendak copot saking bulatnya mataku melotot. Dan dadaku meledak- ledak, serasa hendak pecah. Napasku tersengal- sengal menahan emosiku yang membludak.
Rizky kabur dari rumahku setelah ia mengatakan, “ Terima kasih, sa. Kamu sudah mengizinkanku untuk mengatakan semua ini. Meski rasanya berat, setidaknya aku sudah terus terang padamu. Besok juga aku akan mengakuinya di depan Leni dan Yessi.”
Hah! Tubuhku terhempas di kursi, lalu ku remas- remas rambutku dengan gusar. Arir mataku tumpah ruah di atas pipi. Darahku masih mendidih dan berhasil membuat telingaku benar- benar matang. Lalu ku rasakan kepalaku serasa dihantam palu, remuk, sakit. Beberapa detik kemudian, aku sudah tak sadarkan diri.


Esok harinya aku sudah merasakan hari ini akan menjadi hari terburuk dalam sejarah hidupku. Benar saja, ketika aku sedang berjalan menuju fakultas ekonomi, seseorang memanggilku dari belakang.
“TESA KIRANA!!”
Aku menghentikan langkahku dan ku dengar suara langkah kaki orang itu berlari ke arahku. Aku menoleh. Dan…
PLAK!
“Cewek sialan! Jadi lo mau rebut Rizky dari gue? Dasar pagar makan tanaman. Gue gak sudi punya temen macam elo.’
Aku masih belum sepenuhnya sadar ketika wanita yang memakiku yang ternyata adalah Leni pergi meninggalkanku sambil terisak.
Hatiku benar- benar hancur berkeping- keping. Ternyata firasatku benar, hari ini memang hari terburuk dalam sejarah hidupku. Dan aku tak bisa membayangkan lagi betapa buruknya hari ini ketika ku lihat Yessi menghampiriku dengan mimik muka yang membuat hatiku hancur lebur sebelum aku mendengar suaranya sekalipun.
”Tadi Rizky sudah menceritakn semuanya,” kata Yessi blak- blakan.
“Aku tidak menyangka kalau kamu ternyata selicik itu. Kamu tega ya, sahabat sendiri saja kamu tusuk dari belakang. Jadi kamu manfaatin banget ya waktu kamu jadi Mak Comblang?” Yessi mencak- mencak di hadapanku.
“Jangan salahkan aku Yess,! Kamu harusnya menyalahkan Rizky! Dia biang keladi dari semua ini. Hiks… hiks…”
“Alah… munafik! Pokoknya mulai saat ini kamu jangan dekati aku dan Leni! Karena kita tidak mau punya teman tukang tusuk dari belakang. Karena meski sekarang orang itu kelihatan baik, suatu saat nanti pasti kami akan ditusuk juga. So’ buat apa kami menunggu saat itu kalau kami masih bisa menghindari orangnya?” cibir Yessi pedas.
Lalu Yessi meninggalkanku yang sedang mematung kaku sambil bercucuran air mata. Yessi benar- benar meninggalkanku sampai delapan bulan berikutnya, tepatnya sampai saat ini. Leni, boro- boro dia mau bertegur sapa atau bertukar senyum denganku, melihatku saja sepertinya dia ogaaaahhh sekali.
Sepi, hampa, dikucilkan dan terpuruk. Itulah sebagian kecil keadaan yang mampu mendeskripsikan hidupku saat ini. Aku benar- benar merasa menjadi orang kerdil yang sangat bau dan selalu dijauhi orang- orang.
Kini aku tak punya teman seorang pun. Dan sepertinya orang- orang juga enggan bertemna denganku. Kemana- mana aku selalu sendiri dan selalu menyendiri. Apa salahku sih sehingga aku harus dapat perlakuan menyakitkan seperti ini? Oh Rizky, kamu memang pantas aku benci!
Sejak saat itu, sejak aku benar- benar dicampakan oleh kedua sahabatku, aku mulai menarik diri dari pergaulan. Aku keluar dari Hima, aku jarang kuliah, aku jarang melakukan aktifitas apapun kecuali tidur, makan dan menangis.
Sejak saat itu, kami mulai pecah jadi tiga kubu. Kubu tersangka, kubu korban dan kubu orang menyedihkan. Aku tentu saja masuk ke kubu orang menyedihkan. Kubu tersangka( Rizky) dan kubu korban( Leni dan Yessi) kelihatannya juga tak pernah lagi bertukar sapa, suatu sikap yang kedua kubu itu terapkan padaku.
Terakhir ku dengar Leni sudah punya pacar seorang anggota PLN. Sedangkan Yessi, dia katanya sudah resmi jadian dengan Kak Gumilar minggu kemarin. Rizky? Amit- amit, aku sama sekali tak ingin tahu kabarnya.
Setelah delapan bulan ku lewati dengan kesendirian, akhirnya aku berhasil juga mempertahankan kuliahku sampai tingkat tiga di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Galuh Ciamis. Ternyata aku mampu juga melalui hari- hariku sebagai alien.
Tanpa hujan, tanpa angin, hari ini aku dapat sms dari Rizky.
Sa, kita perlu bicara. Aku sudah tak tahan merasa tertekan seperti ini, kita harus menyelesaikan masalah ini samapai tuntas. Sa, besok aku tunggu kamu di Taman Raflesia jam delapan pagi. Please Sa, kamu datang ya!
Setelah selesai membaca SMS, aku membanting hp-ku ke atas kasur. Tiba- tiba amarahku meledak lagi dan rasa kesal mulai menjalari seluruh permukaan kulitku. Masih dengan amarahyang bersemayam dalam hati, aku lalu masuk ke dalam selimut, menariknya, lalu aku berbaring, dan menutup mata.
Apa kabar, Hari Esok? Semoga aku lenyap dari muka bumi, gumamku. Lalu aku benar- benar tertidur pulas.


Aku bangun dari tidur pukul tujuh lebih tiga puluh dua menit. Lalu aku bangkit dan segera mandi. Sebenarnya aku sama sekali tak berniat untuk memenuhi ajakan Rizky. Tapi entah apa yang mendorongku, akhirnya aku berangkat juga ke alun- alun (Taman Raflesia) pukul setengah sembilan.
Sesudah aku turun dari angkot 05, aku merasa menyesal datang ke alun- alun ini. Ku lihat Taman Raflesia ini sangat lenggang. Tapi ku langkahkan juga kakiku menyusuri taman.
Deg.
Hatiku merasa tertohok ketika ku lihat suatu pemandangan di sudut timur taman ini. Ku lihat tiga orang yang ku kenal sedang tertawa terbahak- bahak di bawah pohon beringin kecil. Mereka terlihat sangat akrab dan aku merasa sangat iri.
Air mataku mulai menitik. Tanpa menunggu air mataku membanjir, aku berbalik dari mereka dan beranjak pergi. Baru beberapa langkah kakiku terayun, seseorang dari mereka memanggilku.
“Tesa, sini!”
Leni. Itu pasti suara Leni. Aku lalu menghentikan langkahku.
“Mau kemana lagi sih, Sa? Masa jauh- jauh datang kesini, kamu langsung pulang lagi,” Yessi menyahut.
Dilema mulai membayangi langkahku.
“Gabung yuk! Kita masih punya sesuatu yang mesti kita obrolkan bersama,” bisik Leni disampingku.
Aku terkejut mendengar ajakan Leni. Sejak kapan ia berdiri di sampingku? Tanpa minta persetujuanku, Leni menarik lenganku ke bawah pohon beringin kecil, tempat mereka bercengkrama tadi. Lalu dengan tak sopannya, Leni mendudukanku di samping Rizky.
“Apa kabar, Sa?” Yessi menyapaku lagi.
“Baik, Kataku lemah sambil menunduk.
“Kamu kurusan Sa, diet ya?” tuding Leni sambil cekikikan.
Sebenarnya aku ingin mencekik Leni kala mendengar gurauannya barusan, tapi aku hanya diam saja. Dan ku lihat, Rizky juga semendung aku. Dari tadi dia terus menunduk dan tak berkomentar apa- apa.
“To the point saja deh, tak enak diam- diaman begini kayak di kuburan saja. Haha,” Yessi lalu tertawa ditimpali Leni. Mungkin mereka geli melihat kecanggunganku. Sial!
“Aku tak tahu harus ngomong apa,” kataku memberanikan diri. Lalu suasana jadi hening ketika mereka mendengarku bicara.
“Aku hanya ingin kalian memaafkanku dan kita bersama- sama lagi. Karena jujur saja, hidupku tanpa kalian aku merasa bukan diriku sendiri,” aku mulai tergugu.
“Aku tak mengerti kenapa kalian jadi memusuhiku dan selalu berusaha menghindariku. Padahal apa salahku? Kalian harusnya menyalahkan orang plin- plan yang sekarang sednag duduk di sampingku! Kenapa kalian lakukan ini padaku?’ ku tutup mukaku dengan kedua telapak tangan.
Lalu aku merasa tubuhku dipeluk oleh Leni dan Yessi. Ya Tuhan, inilah saat-saat yang selalu aku nantikan selama ini.
“Maafkan kami ya! Saat itu kami sedang gelap mata saja, jadi kami masih belum bisa membedakan siapa yang salah,” ucap Yessi.
“Tapi sekarang kalian sudah menyadari kan bahwa aku tak salah?” ucapku lirih.
“Ya, aku tahu Rizky yang salah. Saat itu aku juga sangat membencinya waktu dia bilang dia suka sama kamu, padahal jelas- jelas dia PDKT sama aku. Katanya dia tiba- tiba jatuh cinta sama kamu waktu kamu marah besar ke dia karena selalu dicuekin sama aku dan Rizky. Aneh sih, tapi itulah kenyataannya,” cerocos Leni panjang lebar.
“Tapi ternyata dia beneran cinta sama kamu, Sa. Kita sudah membuktikannya lho,” timpal Yessi menggodaku.
“Sudah ah, ngebahas ini tak penting lagi. Yang penting kan kita sekarang sudah baikan lagi. Horee!!” aku kegirangan sambil merangkul kedua sahabatku erat- erat.
Ku lihat Rizky semakin tertunduk dalam. Dan tiba- tiba Yessi melepaskan rangkulanku sambil berkata,” Jangan gitu dong, Sa! Risky kan sebentar lagi masuk gank kita.”
“Maksudnya apa sih?” selidikku.
“Dia kan sebentar lagi jadi pacar kamu, otomatis dong dia masuk ke gank kita. Cieee,” Leni menggodaku lagi.
“Ya Tuhan, jangan bicarakan masalah ini lah, nanti mood aku hilang lagi. Lagian mana mau aku pacaran sama dia. Sudah merusak persahabatan kita, membuat aku menderita, apa lagi sih maunya?” protesku tanpa belas kasihan.
“Tapikan dia beneran cinta lho sama kamu, Sa,” ucap Leni sungguh- sungguh.
“Halloo!!! Hari gini mau nyomblangin orang, kan kau sendiri yang suka sama dia. Kenapa aku jadi sasarannya?”
“Ah, itu masa lalu. Kan sekarang aku sudah punya Ayang Deni. Hahaha. Lagian sekarang aku juga sudah mengikhlaskannya kok kalau kamu sama risky beneran jadian.
Awalnya aku sama Yessi juga menyangka kalau Rizky suka sama kamu hanya suka sesaat saja. Tapi waktu kita Inagurasi kemarin dan kita jadi panitia. Malam- malam waktu dia lagi tidur di tenda, Rizky mengigau begini,” Sa, Tesa, aku suka sama kamu. Percayalah padaku, Tesa Sayang!” Hahaha,” Leni mempraktekannya dengan saya yang lebay sekali.
“Mana ada sih Sa, orang yang tidak benar- benar cinta sampai mengigaukan nama kamu waktu dia lagi tidur, orang mengigau kan tak pernah bohong. Betulkan, Ky? Rizky, ngomong dong! Masa jadi patung saja sih dari tadi?” Yessi menggoda Rizky.
Aku hanya tersenyum kecut. Masa sih Rizky memanggil namaku dalam tidurnya? Mustahil sekali.
“Iya, Sa. Aku sangat suka sama kamu,” aku Rizky.
Ku rasakan pipiku memanas dan mungkin sekarang sudah bersemu merah. Tanganku juga serasa sudah membeku saking dinginnya. Norak. Kenapa sih aku jadi norak begini? Apa aku sebenarnya juga suka ya sama Rizky. Oh, tidak mungkin. TIDAK MUNGKIN.
“Cieee!! Pipinya merah, Ky. Berarti dia punya perasaan sama lho ke kamu,” goda Leni. Sialan!
“Tidak, tidak, tidak, itu bohong kok. Sorry Ky, aku sama sekali tidak menyukaimu. Malahan aku sangat membencimu. Jadi menjauh deh dari aku, sana! Sana! Sana!” aku berbicara dengan intonasi yang cepat sekali.
“Bohong Ky, tangannya dingin begini. Berarti dia lagi deg- degan sekarang,” bisik Yessi keras- keras.
Lalu Yessi dan Leni lari terbirit- birit meninggalkanku dan Rizky hanya berduaan saja. Aku lalu bersiap- siap mengejar mereka. Tapi tiba- tiba Rizky sudah menggenggam tanganku yang dingin. Oh no!!!
“Aku tahu kok Sa, kamu juga menyimpan rasa yang sama padaku. Mungkin karena waktu ini terlalu cepat dan tiba- tiba, kamu jadi belum siap menerimanya. Tapi Sa, aku akan menunggumu sampai suatu saat nanti kamu benar- benar siap mengakui bahwa kamu juga mencintaiku,” kata Rizky sambil tersenyum manis sekali padaku.
Oh God, mati aku!

PACAR NANA

“Jadi kamu mau jadi pacar aku?”
Aku tiba- tiba saja lupa bagaimana cara bernapas karena dadaku langsung sesak tak keruan. Aku menunduk merasa malu karena tatapannya yang mengintimidasi, tapi tak lama ku angkat lagi wajahku dan ku amati lagi wajah Tian yang teramat sempurna untuk bersanding dengan cewek yang teramat biasa bahkan untuk ukuranku sendiri.
Sebenarnya ini kali kedua aku mengalami moment seperti ini. Tapi rasa deg- degannya, rasa sesaknya, rasa panas yang tiba- tiba menjalari seluruh permukaan kulit wajahku hingga berwarna merah padam seakan- akan masih terasa asing olehku meskipun aku pernah mengalaminya setahun yang lalu.
“Jadi jawabannya, Ra?” Tian menegaskan sikap diamku.
Ya. Ya. Ya.
Kata itulah sebenarnya yang dari tadi menyumpal tenggorokanku. Tapi ku tahan sebisanya. Aku mau lihat dulu seberapa besar cintanya padaku.
“Emh….bisa minta waktu?”                     
“Berapa lama?” jawabnya tak sabaran.
Ku tatap sekelilingku. Taman sekolah yang rimbun rindang dikelilingi pohon ek yang menjulang tinggi. Semilir angina tiba- tiba membelai mukaku, dan ku yakin wajah Tian yang tampan juga merasakan hembusannya. Ku tarik napas dalam- dalam.
“Tiga hari?” aku balik bertanya.
“Ya, aku tunggu,” jawabnya mantap.
Hening.
Suasana yang selalu membuatku gerah karena aku tak tahu harus berbuat apa. Bertanyakah? Atau sebaiknya aku menunggu Tian membuka pembicaraan lagi? Akhirnya ku pilin- pilin ujung rambutku yang kemerahan tak terawat.
“Udah sore, mau pulang bareng?” tanyanya, mata elangnya yang indah menatap bangunan sekolah di kejauhan.
“Emh…..”
Gugup. Pasti gugup! Kenapa aku selalu gugup sih kalo aku berhadapan dengan Tian? Aku kesal sendiri.
Melihatku yang terdiam lama- lama yang mungkin menurutnya aku sedang mempertimbangkan ajakannya tapi sebenarnya aku sedang mengutuk diriku sendiri karena aku selalu kikuk di hadapannya, akhirnya Tian mencondongkan badannya ke arahku. Alisnya terangkat lagi, meminta jawaban.
“Ga usah deh. Makasih,” aku menjawab sambil menunduk.
Ya Tuhan, harus sampai kapan aku memendam rasaku? Sebenarnya aku ingin sekali pulang bareng Tian. Bahkan kalau aku boleh jujur, ingin sekali aku menghabiskan seluruh waktuku bersamanya, orang yang sangat aku cintai bahkan sebelum ia mengungkapkan cintanya padaku. Tapi aku tak bias membayangkan bagaimana nasib jantungku nanti kalau aku beneran pulang bareng dia kalau sekarang saja jantungku sudah bertalu- talu ingin memberontak dari tempatnya. Membuatku semakin sesak saja.
Ku angkat wajahku. Dan aku menyadari semburat kekecewaan membayang di wajah Tian.
“Emh….kita- kita emh…..aku anter kamu aja sampai tempat parkir. Yah?” aku berusaha mengurangi kekecewaannya.
“Ya udah deh. Yuk!” Tian bangkit dari duduknya sambil tersenyum manissss sekali hingga membuatku tak sadarkan diri.
“Yuk!” Tian mengajakku yang kedua kalinya yang membuatku tersadar.
Aku berusaha membenahi ekspresiku yang berantakan dan malu- maluin dalam waktu satu detik. Lalu kami mulai berjalan beriringan menuju tempat parkir. Tanpa bicara. Sedikitpun. Tapi sebenarnya dengan lirik malu- malu aku selalu memperhatikan Tian. Dari bentuk wajahnya, caranya berjalan, bagaimana ia menatap dan akhirnya aku memperhatikan perbandingan tinggi tubuh kami. Aku salting sendiri ketika menyadari bahwa tubuhku hanya setinggi dadanya saja.
Kami sampai di tempat parkir. Tian naik ke motornya. Lalu dia tersenyum padaku dan kemudian motornya meninggalkanku yang berdiri mematung tak mampu bergerak.


Aneh deh gue sama si tian. Tuh anak emang suka bikn kita dapet sureprise tiap hari deh. Tau gak? Semalem waktu gue mau tidur, eh si Tian gonjrang- gonjreng maenin gitar di pinggir kamar gue. Papa gue yang siap ngamuk eh…..pas aku ke ruang tamu dia sama Tian lagi bincang- bincang seru deh. Heran deh gue, papa aku aja yang killernya kayak macan eh bisa luluh di hadapan Tian mah,” Nana mengoceh tada henti, tepat di depan wajahku.
Ku tahan rasa cemburuku.
“Wah! Emang ngapain aja tuh si Tian?” berusaha terlhat antusias.
Aku menarik napas.
“Gak tau juga sih aku sebenernya. Habis aku diare sih, bolak- balik wc terus. Tapi kayaknya emang bawaan Tiannya aja deh yang nyenengin,” matanya menerawang penuh binar- binar kekaguman.
Aku diam. Pura- pura fokus pada soal matematika yangs ebenarnya Cuma PR belaka.
“Sumpah deh Ra, gue penasaran banget kenapa sih dulu lo gak nerima si Tian?”
Deg.
“Padahal ya dia ganteng, tajir, humoris, truuuuuussss,” Nana tak melanjutkan perkataannya, tapi dia malah mencondongkan wajahnya untuk memandangku dengan tatapnnya yang mengintimidasi.
Sekuat tenaga aku menjaga ekspresi mukaku, menjaga detak jantungku yang berdetak terlalu kencang dan keras saat ini.
“Gak ada rasa aja,” kataku sambil menatap matanya, mata Nana.
Diam. Nana masih menatapku dan aku sama sekali tak ingin kalah.
“Ih…..apa sih?’ aku berusaha mengacak- acak rambut Nana sambil tersenyum geli.
Tapi secepat kilat Nana udah keluar dari bangku.
“Gak ada rasa gimana, itu lo senyum. Eh Ra, ja….”
“NANA!!!!” teriakku sambil berlari mengejar Nana keluar kelas.
Sial!
“Hahahaha…..gue kasih tau ah sama si Tian kalo sebenarnya lo suka sama diaaa,” teriaknya.
Malu- maluin!
Semua murid SMA Tritas yang sedang nangkring di koridor dan sialnya sekarang waktu istirahat jadi banyak murid yang lagi nangkring di koridor depan kelas mereka. Mereka pkoknya pada ngeliatin aku yang lagi ngejar si Nana. Sebeeeeeeeellll!!!
Tambah mirisnya, dahulu waktu si ian lagi PDKT sama aku, seluruh isi sekolah tahu kalo si Tian lagi ngincer aku. Gara- garanya dulu waktu lagi pemilihan ketua OSIS dan waktu itu si Tian mau menyampaikan visi- misinya yang terakhir kali di depan seluruh siswa dan beberapa gur, si Nana, MC tersialan dan yang paling jalang seduia malah bilang gini,” Untuk calon ketua OSIS selanjutnya yang akan menyampaikan visi- misi andalan dan terjago. Dia seorang pujaan hati salah satu gadis kelas XII Bahasa, dialah SEBASTIAN MAULANA. Kepadanya dipersilahkan.”
Si Eces, makhluk Tuhan yang paling jail dan gak tahu diri diseluruh pelosok planet Bumi menjerit sekencang- kencangnya dengan suara cempreng khas nenek sihir,” RARA MULYANI”.
Weeerrrrrrrrr.
Tepuk tangan tumpah ruah di aula. Dan berbagai macam jeritan yang entah mengutukiku atau hanya sekedar mengolok- olokku menjerit- jerit memekakan telinga. Sumpah!! Gak tahu mukaku udah kayak kepiting rebus atau bener- bener udah jadi tomat saat itu. Maaaaallllluuuuu.
Gedubrak.
Sadar gak sadar tubuhku tersungkur ke lantai dan mendarat sejauh dua meter dari tempat tersungkurku semula. Mati Rasa!!! Sumpah!! Dan aku gak ingat dimana aku berada seakan- akan dunia hilang dari pandanganku.
Lalu ketika ku kerjap- kerjapkan kedua kelopak mataku yang berat, ku tatap ruangan putih khas yang sudah ku kenal dengan sebaik- baiknya, ruang UKS Sekolah.
“Kamu sih jailin Rara terus.”
Deg.
Suara itu? Suara yang selalu membakar hatiku saat mendengarnya.
“Ihhhh, Raranya aja yang gak hati- hati!”
“Ssstt! Ra!”
Pandanganku yang tadinya buram mulai fokus dan oh my Gog! Ternyata benar, Tian hadir di samping tempat tidurku dengan tatapan khawatirnya yang membuat jantungku kembali berpacu kencang.
“Ra, maafin aku!”
Nana.
Aku berusaha tersenyum, tapi rasa perih di pipi yang kemudian terasa hingga aku meringis.
“Tuh kan!’ tuduh ian.
“Lho kok aku terus sih yang disalahin?” Nana merenggut.
Aku hanya bisa memandang perdebatan mereka yang enta kenapa dalam pandanganku mlah terlihat mesra. Aneh! Dan rasa cemburu kembali berkibar- kibar di jantungku.
“Ra, mau pulang?”
“Ini kali kedua Tian mengajakku pulang. Oh Tuhan, kenapa aku selalu mengharapkan masa itu teruklang kembali?
“Pulang aja Ra, nanti aku aja yang minta surat izinnya ke ruang Piket,” Nana dengan suara besarnya yang selalu saja terdengar seksi dan renyah. Dan intinya! Aku jauh berbeda sama Nana, dia cek cantik yang periang dan selalu dikejar- kejar cowok. Cukup! Cukup Ra!
Tanpa minta persetujuanku, mereka berdua intinya dua sejoli itu berusaha mendudukan tubuhku.
“AWWW!!!” aku menjerit refleks.
Ternyata pernyataan sakit yang keluar dari mulutku berakhir dengan nuyt- nyutan di pipi. Lagi.
“Pengen liat cermin!” pintaku dengan suara tergagap.
Dua sejoli itu memandangku ngeri. Nana malah menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi yang membuatku takut sendiri untuk membayangkannya.
“Emmm,sebaiknya kita cepat pulang aja deh Ra,” Tian mengalihkan perhatianku.
Tanpa bicara Nana berlari keluar ruang UKS, ke ruang Piket. Dan Tian kemudian membantuku berdiri dengan susah payah. Memapahku.
“Kok bisa jatuh gini sih Ra?’ katanya sambil menatapku.
Sebenarnya aku ingiiiiin sekali menjawab pertanyaannya, berusaha bersikap biasa walau jari- jarinya yang besar sedang mencengkram sikutku, tapi akhirnya aku urung untuk berkata karena pasti pipiku akan nyut- nyutan lagi.
Tahu aku takan menjawab pertanyaannya, Tian mengoceh lagi,” Untung aja tadi si Beni nganterin kamu ke UKS, tapi karena dia lagi buru- buru, dia langsung cabut begitu gue sama Nana datang.”
Hening.
Aku memanfaatkan keheningan ini dengan berkonsentrasi meredam degup jantungku yang kelewat bertalu- talu. Dan ku rasa dari pegangan tangannya di sikutku, Tian sedang menghela nafas panjang. Menenangkan diri. Dan aku tak tahu apa maksudnya.
“Emmnmm.”
“Apa Ra? Tian merespon gumamanku terlalu agresif dan terlalu cepat seakan- akan sudah puluhan tahun ia ingin mendengar aku bersuara. Ngarep.
“Seberapa parah……gue?” tanyaku ragu- ragu, berharap aku tak akn pernah mengetahuinya.
Tian pun terlihat ragu- ragu,” Emmmm.”
Aku menantinya dengan mata yang dibulatkan dan sepenuhnya tatapanku tertancap di matanya.
“Okey, kedua pipi lo…..emmm bengkak, emhhhh ada lukanya…..lumay…yan gede gitu, truuuus…..”
Tanganku refleks memegang kedua pipiku dan selanjutnya aku meringis perih. Dengan segala perhatiannya yang gak biasa yang tergambar jelas di wajahnya, Tian khawatir berat samaku. Dan aku gak terima setengah mati waktu wajah khawatirnya hanya beberapa centi dari mukaku untuk memastikan keadaanku.
Oke, mungkin aku lebay dalam masalah ini yang mungkin dianggap remeh dan biasa aja walau oleh cewek terlugu pengalamannya dalam merajut tali asmara lebih parah dari aku. Tapi masalahnya beda! Aku sekarang lagi cinta berat sama dia, dia yang beberapa bulan lau nembak aku, tapi karena aku ngebiarin gitu aja perasaan cintnya tapi sebenarnya itu adalah trikku untuk mengetahui seberapa besar cintanya sama aku. Tuluskah? Lebih besarkah?
Jawabannya, tiga minggu setelah penantian cintanya aku uji dan sampai sekarangpun aku belum pernah ngasih jawaban cintaku, dia malah nembak teman sebangkuku yang super cantik dn aduhai bohainya bernama RAIHANA dan sekarang mereka udah PACARAN. Dan Nana, tiap kali ada kejadian apppaaa aja menyangkut Tian, curahan hatinya tiada dua hanya kepadaku seorang. Sial!! Jantungku harus sport setiap hari.
 Ya. Apakah perasaan dag dig dug ini berlebihan?
“Ra?” Tian semakin panik.
Sekuat tenaga aku berusaha menahan pipiku yang perih terkena air mata,” Tian sebaiknya kita pulang sekarang! Aku nunggu disini!”
Tian mengangguk dan segera beranjak ke tempat parkir. Sepeninggalnya aku berdiri mematung di pinggir air mancur sekolah. Cukup sudah hatiku koyak karen perasaan cinta sebelah tanganku. Cukup sudah hatiku harus dipermainkan oleh perasaanku sendiri. Sekuat tenaga aku mencoba menghapus bayangnya mulai dari sekarang! Detik ini!
“Ra, lo sekarang boleh pulang. Gue udah bawa surat izinnya,” Nana ternyata sudah berdiri di samping aku sambil memegang selembar kertas.
Aku membuka kelopak mataku, tak sadar ternyata dari tadi aku menutup kelopak mataku terlalu lama. Dan Tian udah ada di depan aku.
“Yuk!”
Tanpa rasa ku naiki boncengan motor Tian yang kemudian melaju dengan kencang meninggalkan Nana yang masih merasa bersalah. Ku tinggalkan rasaku, rasa yang menjadi candu hatiku sendiri. Ku pejamkan lagi mataku, merasakan angin jalanan membelai luka- luka dalamku, menyembuhkannya.
Sesampainya di depan rumahku, ku buka mata. Serasa jadi makhluk baru tercipta. Semua rasa yang selalu membelenggu hilang sudah. Dan secepat itu bila hati bulat untuk melupakan sesuatu.