Kamis, 06 Oktober 2011

Tentang Semua Kasih Sayang Mama

Mama menamparku lagi. Perih. Pipiku yang membengkak dibanjiri luapan air mataku. Hati- hati ku sentuh pipiku yang nyeri.
“Itu balasan untuk anak kurang ajar sepertimu!” ucapnya.
Lantas pergi keluar rumah. Selalu begitu. Mama selalu meninggalkanku setelah aku ditamparnya.
Dengan susah payah, ku gerakan kakiku menuju sofa. Sekedar penghilang pegal akibat lama berdiri. Tapi sama sekali hatiku tak pernah terobati. Terlalu lama hatiku sakit dan menumpuk ketidakberdayaanku.
Ku usap lagi pipiku. Mataku terpejam sambil merasakan betapa sakitnya tamparan mama. Ku usap lagi. Dan sakit itu semakin menyakitkan, menusuk hatiku yang sudah lama tak pernah menjumpai kesembuhan.

“Kamu itu anakku, jadi kamu harus menuruti perintahku!” ucap mama pada malam harinya.
Aku yang sebenarnya sedang pura- pura belajar merasa sebal mendengar ucapannya. Seakan tak ada kata manis yang lain yang diucapkannya padaku untuk memenuhi perintahnya. Ku goreskan pulpenku dalam- dalam di atas selembar kertas HVS.
“Aku selalu berusaha menjadi anak penurut,” akhirnya itulah kalimat yang terucap dari bibirku.
“Kalau begitu, besok dan seterusnya kamu harus sekolah dengan sungguh- sungguh!”
Alah….Sekolah! Sekolah! Apa sih gunanya sekolah? Pinter enggak, kaya enggak. Mendingan aku serius menekuni pekerjaanku selama ini. Melayani om- om kesepian.
Om Beni, dia pelangganku dua bulan terakhir ini. Dia pelangganku yang sangat aneh. Buat apa coba menyewaku dengan harga yang sangat mahal dan melarangku untuk melayani pelangan- pelangganku yang lain kalau tidak untuk bermain di dalam kamar tidur?
Tapi sampai saat ini kami belum pernah melakukannya meski Om Beni sudah ku rayu puluhan kali. Hal ter-romantis yang dilakukannya hanya merangkul pinggangku. Hanya itu. Sering aku curi- curi mencium pipinya yang gembil, tapi lebih sering seranganku tak pernah berhasil. Hehe.
Tapi aku sangat senang punya pelanggan tunggal macam Om Beni itu, karena aku bias belanja apa saja tanpa batas. Dia pengusaha yang sangat kaya dan tak beristri.
Mungkin dugaanku benar, kalau Om Beni itu impotensi. Makanya dia hanya menyewa pelacur amatiran seperti aku. Tapi sungguh, aku tak pernah peduli dengan masalahnya ataupun penyakitnya, yang pentingkan segala keperluanku terpenuhi. Ya gak?
“Mama ingin kamu menjadi orang sukse.”
Suara mama menyadarkanku dari lamunan.
“Mama berharap dari mulai malam ini kamu berhenti jadi pelacur,” suara mama semakin meredup.
Deg!
Darahku berdesir menyapu tubuhku dngan cepat. Jantungku bertalu- talu. Mukaku panas seperti terbakar api dan ujung- ujung jariku mulai mendingin.
“Dari mana mama tahu?”
Lho kok suaraku jadi bernada sinis begini? Atau jangan- jangan aku terlalu gugup karena rahasiaku terbongkar mama hingga menjdikanku sinis begini? Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan hatiku sebenarnya, takut dan resah.
“Sudah sejak lama.”
Deg!
Darahku semakin berdesir kencang. Jantungku semakin cepat berpacu. Jadi…
“Jadi itu alasannya kenapa mama selalu menamparku tanpa alasan?”
“Itu salah satunya.”
Hening. Yang terdengar hanya suara jantungku yang berdegup tak tahu malu dan gemerisik angina yang mengusik dedaunan di luar sana.
“Mama tak suka kamu berhubungan dengan klienmu yang sekarang ini.”
Om Beni? Ada apa dengan Om Beni?
“Jadilah anak yang baik!” lantas mama masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya.
Tapi…. Ya ampun! Apakah itu benar- benar terjadi? Apakah aku benar- benar melihatnya? Mama menangis? Tadi ku lihat air matanya menetes sebelum ia menutup pintu kamarnya.
Jadi segawat apa masalah ini? Kenapa aku merasa masalah ini biasa- biasa saja? Aku anak nakal, sering bolos sekolah, jadi seorang pelacur dan,,,, punya pelanggan Om Beni.
Tapi mama? Aku hapal betul, air mata mama hanya akan menetes untuk satu hal yang sangat berharga dan disayanginya. Sebelum malam mama, air mata mama hanya mengalir saat nenek berpulang ke Penciptanya. Dan semahal itu.
Akhirnya dengan hati remuk redam aku menangisi ketidaktahuanku. Mengapa aku tak pernah mengerti jalan pikiran mama? Mengapa aku tak pernah mengerti bentuk kasih saying mama padaku sampai sekarang ini? Aku semakin tersedu- sedu.

Keesokan paginya mama mengetuk pintu kamarku ketika aku sedang memoles pipiku dengan bedak baby.
“Cass, Rama udah nunggu kamu diluar,” ucapnya.
Rama. Dia itu tetanggaku, teman sekelasku sekaligus teman baikku. Dia selalu mendengarkan keluh kesahku dengan penuh perhatian. Kami selalu berangkat sekolah bersama.
Kami tak pernah pulang sekolah bersama karena aku mulai bekerja saat bel pulang sekolah berbunyi. Dan catatan! Di sekolahku hanya Rama yang tahu kalau aku seorang pelacur. Hanya dia.
Ceklek.
Pintu kamarku terbuka. Dan satu pemandangan yang membuatku terharu semakin bertambah banyak, mama menyiapkan bekal makananku. Aku menerimanya sambil tersenyum tulus. Lantas aku berjalan keluar rumah sambil terburu- buru. Ada satu cerita lagi yang ingin ku ceritakan pada Rama.

“Tuh kan apa yang gue bilang, gak mungkin dong seorang ibu gak saying sama anaknya.”
“Bukannya gitu Ma, gue ngerasa sureprise aja gitu,” aku senyam- senyum sendiri.
“Sekarang kan mama kamu udah berubah, kapan kamu mau berubah?”
Deg!
“Maksudnya?” tanyaku penuh selidik.
Rama menarik napas dalam- dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Serapat- rapatnya kita nyembunyiin bangkai pasti bakalan kecium juga bau busuknya. Emang lo mau, satu sekolahan tahu profesi lo?”
“Makanya mulut lo jangan jadi ember!” aku mulai kesal.
“Sorry deh, kalo ucapanku barusan nyinggung hati lo. Gue gak maksud kok. Cuma gue gak mau nama lo tercemar,” akhirnya Rama minta maaf setelah lama aku tak buka suara lagi.
“Dimaafin gak? Kok diem mulu sih?”
“Makanya lo jangan menggurui gue kayak gitu.”
“Oke deh geu gak bakalan komentar lagi soal profesi lo,” kata Rama sambil mengacungkan dua jarinya.
“Gitu dong.”
“Tau gak? Lo disalamin tuh sama si Nino.”
“Kelas berapa?”
“Sekelas sama gue dodol! Kemana aja sih lo? Si Nino kan kapten basket, masa gak kenal?”
“Oh… yang gue kecengin waktu kelas satu ya? Hehe… gue lupa,” aku nyengir kuda.
“Ayo lari!”
Rama menggenggam pergelangan tanganku dan membawaku berlari ketika dilihatnya pintu gerbang sekolah hamper tertutup.

Ini untuk pertama kalinya aku dan Rama pulang sekolah bareng. Karena sejak aku kelas tiga SMA ini, aku mulai sibuk menggeluti pekerjaanku.
Aku terkejut buakn kepalang ketika sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah kumuhku.
Om Beni? Kenapa dia disini? Dari siapa dia tahu rumahku? Padahal aku tak pernah memberi tahu alamatku padanya. Dan setiap kali aku diantarkan pulang olehnya pun, aku selalu turun di bundaran depan, lima kilo meter sebelum sampai rumahku.
Semakin mendekati pintu, aku semakin mendengar samar- samar suara dari dalam rumah.
“Aku menghargainya meski kamu terlalu sombong untuk mengetahui aku itu menyayanginya,” Om Beni.
Jadi…. Mereka saling kenal? Lalu aku semakin tertarik menempelkan daun telingaku ke pintu. Semua itu murni terdorong rasa ingin tahuku, hanya itu.
“Dan tak usah kau sangkal lagi kalau kamu sudah menodainya.”
Natali, seburuk apa sih derajatku dimatamu?”
“Aku tahu sifatmu.”
“Aku sudah berubah, Na! Apa kamu gak lihat?”
Hening. Jantungku kumat lagi, deg- degan tak beraturan.
“Anak aku jadi pelacur gara- gara kamu! Karma! Aku benci kamu!” mama sepertinya terisak.
Deg!
Jadi mereka membicarakanku? Membicarakan tingkah nyelenehku? Dan mama terisak untukku? Seberharga itukah aku dimatanya? Dan perlahan air mataku mulai menitik. Hatiku semakin tak menentu.
“Aku sangat berusaha menjaganya,” dua menit dilalui keheningan, hanya itulah kalimat Om Beni.
“Percayalah, Na! Aku mencintainya.”
Aku tersenyum samar.
“Lagi ngapain?” bisik Rama di telingaku.
Mungkin aku akan berteriak kaget kalau seandainya aku tak bias menguasai diri. Kehadiran Rama disampingku saat ini benar- benar telah membuatku kaget setengah mati.
“Sst! Dengerin aja!” jawabku setengah dongkol.
Rama jadi ikutan nguping.
“Aku sudah melarangnya berhubungan dengan orang- orang brengsek lagi, Na. Aku juga selalu memenuhi kebutuhannya. Dan aku merasa…. dia bahagia.”
“Jangan sok tahu! Aku yang sudah membahagiakannya.”
Puah. Aku mencibir dalam hati. Membahagiakan apa? Tiap hari aja makannya sama tempe melulu.
“Jangan terlalu sombong, Na! Sebanyak apa sih penghasilanmu mencuci baju keliling cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian berdua?” suara Om Beni melembut.
Mama sepertinya terdiam.
“Aku mencintaimu, Na.”
Rasa mual tiba- tiba mencekik leherku. Huh, dasar musuh dalam selimut! Aku mengumpat mama.
“Dan aku sangat mencintai anakku, Na. Anak kita berdua.”
Derr!
Serasa petir telah menghantam tubuhku tanpa ampun. Jiwaku serasa melayang. Linglung. Rama memeluk tubuhku sebelum aku ambruk. Tapi aku malah memuntahi dadanya.
“Uhekk… Uhekk…”
Bayangan terakhir yang masih ku ingat adalah bayangan mama dan Om Beni mengelilingiku dengan tatapan khawatir dan muka pucat. Lantas semuanya gelap.

Sudah lima belas menit aku mondar- mandir menunggu Rama. Sebentar lagi pestanya akan mulai, pesta [ernikahan mama dan Om Beni ups… papaku untuk yang kedua kalinya.
Sebenarnya sampai saat ini pun aku masih belum mengerti tentang hubungan orang tuaku. Yang ku tahu mama minta cerai sama papa waktu aku masih bayi gara- gara papa ketahuan selingkuh.
Dan mengingat kejadian itu… Ah yang penting sekarang aku sudah menjadi anak yang baik, setidaknya menurut mamaku. Aku pension dari pekerjaan lacurku dan selalu belajar setiap malam.
Aku tersentak dari lamunan karena tiba- tiba jari- jariku sudah berada dalam genggaman Rama. Dari kapan dia berada di depanku? Dan mataku melotot tak percaya saat punggung tanganku dibawa Rama mendekati bibirnya. Muah.
“I love you,” ucapnya.
Aku tak merespon pernyataan Rama karena tiba- tiba darahku berdesir aneh.
“Cepetan dong jawabnya! Bentar lagi pestanya mau mulai.”
“Mmh….”
Rama menungguku dengan wajah tak sabaran.
“Nanti aja deh jawabnya,” kataku sambil menyeret Rama ke dalam pesta.
“Gak mau ah,” Rama sedikit berontak.
Aku mencubit pinggang Rama. Tiba- tiba saja dia berhenti dan menatapku penuh arti. Dan secepat kilat tangannya sudah memeluk pinggangku.
“Makasih Cass, aku tahu kamu gak mungkin nolak aku.”
Aku menjulingkan mataku sambil menatap matanya. Rama salah tingkah.
“Cubitanmu di pinggangku artinya iya kan? Kamu kan selalu gitu kalau kamu setuju?” tanyanya sedikit gugup.
Aku tersenyum jail dan,” Iya deh. Aku terima cintamu,” kataku sambil mengajak Rama menuju tempat papa yang sebentar lagi akan akd nikah. Dan sepanjang jalan aku terus mencubit pinggangnya. Gemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar