Kamis, 06 Oktober 2011

PACAR NANA

“Jadi kamu mau jadi pacar aku?”
Aku tiba- tiba saja lupa bagaimana cara bernapas karena dadaku langsung sesak tak keruan. Aku menunduk merasa malu karena tatapannya yang mengintimidasi, tapi tak lama ku angkat lagi wajahku dan ku amati lagi wajah Tian yang teramat sempurna untuk bersanding dengan cewek yang teramat biasa bahkan untuk ukuranku sendiri.
Sebenarnya ini kali kedua aku mengalami moment seperti ini. Tapi rasa deg- degannya, rasa sesaknya, rasa panas yang tiba- tiba menjalari seluruh permukaan kulit wajahku hingga berwarna merah padam seakan- akan masih terasa asing olehku meskipun aku pernah mengalaminya setahun yang lalu.
“Jadi jawabannya, Ra?” Tian menegaskan sikap diamku.
Ya. Ya. Ya.
Kata itulah sebenarnya yang dari tadi menyumpal tenggorokanku. Tapi ku tahan sebisanya. Aku mau lihat dulu seberapa besar cintanya padaku.
“Emh….bisa minta waktu?”                     
“Berapa lama?” jawabnya tak sabaran.
Ku tatap sekelilingku. Taman sekolah yang rimbun rindang dikelilingi pohon ek yang menjulang tinggi. Semilir angina tiba- tiba membelai mukaku, dan ku yakin wajah Tian yang tampan juga merasakan hembusannya. Ku tarik napas dalam- dalam.
“Tiga hari?” aku balik bertanya.
“Ya, aku tunggu,” jawabnya mantap.
Hening.
Suasana yang selalu membuatku gerah karena aku tak tahu harus berbuat apa. Bertanyakah? Atau sebaiknya aku menunggu Tian membuka pembicaraan lagi? Akhirnya ku pilin- pilin ujung rambutku yang kemerahan tak terawat.
“Udah sore, mau pulang bareng?” tanyanya, mata elangnya yang indah menatap bangunan sekolah di kejauhan.
“Emh…..”
Gugup. Pasti gugup! Kenapa aku selalu gugup sih kalo aku berhadapan dengan Tian? Aku kesal sendiri.
Melihatku yang terdiam lama- lama yang mungkin menurutnya aku sedang mempertimbangkan ajakannya tapi sebenarnya aku sedang mengutuk diriku sendiri karena aku selalu kikuk di hadapannya, akhirnya Tian mencondongkan badannya ke arahku. Alisnya terangkat lagi, meminta jawaban.
“Ga usah deh. Makasih,” aku menjawab sambil menunduk.
Ya Tuhan, harus sampai kapan aku memendam rasaku? Sebenarnya aku ingin sekali pulang bareng Tian. Bahkan kalau aku boleh jujur, ingin sekali aku menghabiskan seluruh waktuku bersamanya, orang yang sangat aku cintai bahkan sebelum ia mengungkapkan cintanya padaku. Tapi aku tak bias membayangkan bagaimana nasib jantungku nanti kalau aku beneran pulang bareng dia kalau sekarang saja jantungku sudah bertalu- talu ingin memberontak dari tempatnya. Membuatku semakin sesak saja.
Ku angkat wajahku. Dan aku menyadari semburat kekecewaan membayang di wajah Tian.
“Emh….kita- kita emh…..aku anter kamu aja sampai tempat parkir. Yah?” aku berusaha mengurangi kekecewaannya.
“Ya udah deh. Yuk!” Tian bangkit dari duduknya sambil tersenyum manissss sekali hingga membuatku tak sadarkan diri.
“Yuk!” Tian mengajakku yang kedua kalinya yang membuatku tersadar.
Aku berusaha membenahi ekspresiku yang berantakan dan malu- maluin dalam waktu satu detik. Lalu kami mulai berjalan beriringan menuju tempat parkir. Tanpa bicara. Sedikitpun. Tapi sebenarnya dengan lirik malu- malu aku selalu memperhatikan Tian. Dari bentuk wajahnya, caranya berjalan, bagaimana ia menatap dan akhirnya aku memperhatikan perbandingan tinggi tubuh kami. Aku salting sendiri ketika menyadari bahwa tubuhku hanya setinggi dadanya saja.
Kami sampai di tempat parkir. Tian naik ke motornya. Lalu dia tersenyum padaku dan kemudian motornya meninggalkanku yang berdiri mematung tak mampu bergerak.


Aneh deh gue sama si tian. Tuh anak emang suka bikn kita dapet sureprise tiap hari deh. Tau gak? Semalem waktu gue mau tidur, eh si Tian gonjrang- gonjreng maenin gitar di pinggir kamar gue. Papa gue yang siap ngamuk eh…..pas aku ke ruang tamu dia sama Tian lagi bincang- bincang seru deh. Heran deh gue, papa aku aja yang killernya kayak macan eh bisa luluh di hadapan Tian mah,” Nana mengoceh tada henti, tepat di depan wajahku.
Ku tahan rasa cemburuku.
“Wah! Emang ngapain aja tuh si Tian?” berusaha terlhat antusias.
Aku menarik napas.
“Gak tau juga sih aku sebenernya. Habis aku diare sih, bolak- balik wc terus. Tapi kayaknya emang bawaan Tiannya aja deh yang nyenengin,” matanya menerawang penuh binar- binar kekaguman.
Aku diam. Pura- pura fokus pada soal matematika yangs ebenarnya Cuma PR belaka.
“Sumpah deh Ra, gue penasaran banget kenapa sih dulu lo gak nerima si Tian?”
Deg.
“Padahal ya dia ganteng, tajir, humoris, truuuuuussss,” Nana tak melanjutkan perkataannya, tapi dia malah mencondongkan wajahnya untuk memandangku dengan tatapnnya yang mengintimidasi.
Sekuat tenaga aku menjaga ekspresi mukaku, menjaga detak jantungku yang berdetak terlalu kencang dan keras saat ini.
“Gak ada rasa aja,” kataku sambil menatap matanya, mata Nana.
Diam. Nana masih menatapku dan aku sama sekali tak ingin kalah.
“Ih…..apa sih?’ aku berusaha mengacak- acak rambut Nana sambil tersenyum geli.
Tapi secepat kilat Nana udah keluar dari bangku.
“Gak ada rasa gimana, itu lo senyum. Eh Ra, ja….”
“NANA!!!!” teriakku sambil berlari mengejar Nana keluar kelas.
Sial!
“Hahahaha…..gue kasih tau ah sama si Tian kalo sebenarnya lo suka sama diaaa,” teriaknya.
Malu- maluin!
Semua murid SMA Tritas yang sedang nangkring di koridor dan sialnya sekarang waktu istirahat jadi banyak murid yang lagi nangkring di koridor depan kelas mereka. Mereka pkoknya pada ngeliatin aku yang lagi ngejar si Nana. Sebeeeeeeeellll!!!
Tambah mirisnya, dahulu waktu si ian lagi PDKT sama aku, seluruh isi sekolah tahu kalo si Tian lagi ngincer aku. Gara- garanya dulu waktu lagi pemilihan ketua OSIS dan waktu itu si Tian mau menyampaikan visi- misinya yang terakhir kali di depan seluruh siswa dan beberapa gur, si Nana, MC tersialan dan yang paling jalang seduia malah bilang gini,” Untuk calon ketua OSIS selanjutnya yang akan menyampaikan visi- misi andalan dan terjago. Dia seorang pujaan hati salah satu gadis kelas XII Bahasa, dialah SEBASTIAN MAULANA. Kepadanya dipersilahkan.”
Si Eces, makhluk Tuhan yang paling jail dan gak tahu diri diseluruh pelosok planet Bumi menjerit sekencang- kencangnya dengan suara cempreng khas nenek sihir,” RARA MULYANI”.
Weeerrrrrrrrr.
Tepuk tangan tumpah ruah di aula. Dan berbagai macam jeritan yang entah mengutukiku atau hanya sekedar mengolok- olokku menjerit- jerit memekakan telinga. Sumpah!! Gak tahu mukaku udah kayak kepiting rebus atau bener- bener udah jadi tomat saat itu. Maaaaallllluuuuu.
Gedubrak.
Sadar gak sadar tubuhku tersungkur ke lantai dan mendarat sejauh dua meter dari tempat tersungkurku semula. Mati Rasa!!! Sumpah!! Dan aku gak ingat dimana aku berada seakan- akan dunia hilang dari pandanganku.
Lalu ketika ku kerjap- kerjapkan kedua kelopak mataku yang berat, ku tatap ruangan putih khas yang sudah ku kenal dengan sebaik- baiknya, ruang UKS Sekolah.
“Kamu sih jailin Rara terus.”
Deg.
Suara itu? Suara yang selalu membakar hatiku saat mendengarnya.
“Ihhhh, Raranya aja yang gak hati- hati!”
“Ssstt! Ra!”
Pandanganku yang tadinya buram mulai fokus dan oh my Gog! Ternyata benar, Tian hadir di samping tempat tidurku dengan tatapan khawatirnya yang membuat jantungku kembali berpacu kencang.
“Ra, maafin aku!”
Nana.
Aku berusaha tersenyum, tapi rasa perih di pipi yang kemudian terasa hingga aku meringis.
“Tuh kan!’ tuduh ian.
“Lho kok aku terus sih yang disalahin?” Nana merenggut.
Aku hanya bisa memandang perdebatan mereka yang enta kenapa dalam pandanganku mlah terlihat mesra. Aneh! Dan rasa cemburu kembali berkibar- kibar di jantungku.
“Ra, mau pulang?”
“Ini kali kedua Tian mengajakku pulang. Oh Tuhan, kenapa aku selalu mengharapkan masa itu teruklang kembali?
“Pulang aja Ra, nanti aku aja yang minta surat izinnya ke ruang Piket,” Nana dengan suara besarnya yang selalu saja terdengar seksi dan renyah. Dan intinya! Aku jauh berbeda sama Nana, dia cek cantik yang periang dan selalu dikejar- kejar cowok. Cukup! Cukup Ra!
Tanpa minta persetujuanku, mereka berdua intinya dua sejoli itu berusaha mendudukan tubuhku.
“AWWW!!!” aku menjerit refleks.
Ternyata pernyataan sakit yang keluar dari mulutku berakhir dengan nuyt- nyutan di pipi. Lagi.
“Pengen liat cermin!” pintaku dengan suara tergagap.
Dua sejoli itu memandangku ngeri. Nana malah menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi yang membuatku takut sendiri untuk membayangkannya.
“Emmm,sebaiknya kita cepat pulang aja deh Ra,” Tian mengalihkan perhatianku.
Tanpa bicara Nana berlari keluar ruang UKS, ke ruang Piket. Dan Tian kemudian membantuku berdiri dengan susah payah. Memapahku.
“Kok bisa jatuh gini sih Ra?’ katanya sambil menatapku.
Sebenarnya aku ingiiiiin sekali menjawab pertanyaannya, berusaha bersikap biasa walau jari- jarinya yang besar sedang mencengkram sikutku, tapi akhirnya aku urung untuk berkata karena pasti pipiku akan nyut- nyutan lagi.
Tahu aku takan menjawab pertanyaannya, Tian mengoceh lagi,” Untung aja tadi si Beni nganterin kamu ke UKS, tapi karena dia lagi buru- buru, dia langsung cabut begitu gue sama Nana datang.”
Hening.
Aku memanfaatkan keheningan ini dengan berkonsentrasi meredam degup jantungku yang kelewat bertalu- talu. Dan ku rasa dari pegangan tangannya di sikutku, Tian sedang menghela nafas panjang. Menenangkan diri. Dan aku tak tahu apa maksudnya.
“Emmnmm.”
“Apa Ra? Tian merespon gumamanku terlalu agresif dan terlalu cepat seakan- akan sudah puluhan tahun ia ingin mendengar aku bersuara. Ngarep.
“Seberapa parah……gue?” tanyaku ragu- ragu, berharap aku tak akn pernah mengetahuinya.
Tian pun terlihat ragu- ragu,” Emmmm.”
Aku menantinya dengan mata yang dibulatkan dan sepenuhnya tatapanku tertancap di matanya.
“Okey, kedua pipi lo…..emmm bengkak, emhhhh ada lukanya…..lumay…yan gede gitu, truuuus…..”
Tanganku refleks memegang kedua pipiku dan selanjutnya aku meringis perih. Dengan segala perhatiannya yang gak biasa yang tergambar jelas di wajahnya, Tian khawatir berat samaku. Dan aku gak terima setengah mati waktu wajah khawatirnya hanya beberapa centi dari mukaku untuk memastikan keadaanku.
Oke, mungkin aku lebay dalam masalah ini yang mungkin dianggap remeh dan biasa aja walau oleh cewek terlugu pengalamannya dalam merajut tali asmara lebih parah dari aku. Tapi masalahnya beda! Aku sekarang lagi cinta berat sama dia, dia yang beberapa bulan lau nembak aku, tapi karena aku ngebiarin gitu aja perasaan cintnya tapi sebenarnya itu adalah trikku untuk mengetahui seberapa besar cintanya sama aku. Tuluskah? Lebih besarkah?
Jawabannya, tiga minggu setelah penantian cintanya aku uji dan sampai sekarangpun aku belum pernah ngasih jawaban cintaku, dia malah nembak teman sebangkuku yang super cantik dn aduhai bohainya bernama RAIHANA dan sekarang mereka udah PACARAN. Dan Nana, tiap kali ada kejadian apppaaa aja menyangkut Tian, curahan hatinya tiada dua hanya kepadaku seorang. Sial!! Jantungku harus sport setiap hari.
 Ya. Apakah perasaan dag dig dug ini berlebihan?
“Ra?” Tian semakin panik.
Sekuat tenaga aku berusaha menahan pipiku yang perih terkena air mata,” Tian sebaiknya kita pulang sekarang! Aku nunggu disini!”
Tian mengangguk dan segera beranjak ke tempat parkir. Sepeninggalnya aku berdiri mematung di pinggir air mancur sekolah. Cukup sudah hatiku koyak karen perasaan cinta sebelah tanganku. Cukup sudah hatiku harus dipermainkan oleh perasaanku sendiri. Sekuat tenaga aku mencoba menghapus bayangnya mulai dari sekarang! Detik ini!
“Ra, lo sekarang boleh pulang. Gue udah bawa surat izinnya,” Nana ternyata sudah berdiri di samping aku sambil memegang selembar kertas.
Aku membuka kelopak mataku, tak sadar ternyata dari tadi aku menutup kelopak mataku terlalu lama. Dan Tian udah ada di depan aku.
“Yuk!”
Tanpa rasa ku naiki boncengan motor Tian yang kemudian melaju dengan kencang meninggalkan Nana yang masih merasa bersalah. Ku tinggalkan rasaku, rasa yang menjadi candu hatiku sendiri. Ku pejamkan lagi mataku, merasakan angin jalanan membelai luka- luka dalamku, menyembuhkannya.
Sesampainya di depan rumahku, ku buka mata. Serasa jadi makhluk baru tercipta. Semua rasa yang selalu membelenggu hilang sudah. Dan secepat itu bila hati bulat untuk melupakan sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar