Kamis, 06 Oktober 2011

Door!! Playboy

Ternyata memang benar, perang terdasyat yang dialami manusia adalah perang melawan hawa nafsunya sendiri. Dan yang paling menyebalkan, perang itu selalu melandaku setiap waktu tanpa kenal lelah. Karena setiap waktu aku harus memerangi masalah yang inti masalahnya terletak pada hasrat seksualku yang nyeleneh. Hugft.
Perkenalkan dulu, namaku Raditya Maulana. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara yang jenis kelaminnya semua laki- laki.
Sudah sejak lama aku tahu kalau mama menginginkan anak perempuan saat mengandungku. Dan dari sana bisa ku simpulkan, hasrat nyelenehku mungkin terbentuk karena masa kecilku yang diperlakukan seperti anak perempuan. Mungkin. Aku tak bisa memastikannya karena itu hanya prediksi asal- asalanku agar aku bisa menyalahkanseseorang gara- gara kelainan ini.
Untung saja badanku tegap dan kekar, tidak lembek dan berlenggak- lenggok seperti para banci, karena sesungguhnya aku sangat mengutuk kelainan yang menjangkit hasratku ini.
Aku ingin jadi lelaki normal dan sangat ingin hasrat cintaku tersalurkan untuk para wanita. Oleh karena itu, aku tak pernah bosan berperang dengan hasrat seksualku, memperjuangkan kenormalanku sebagai lelaki yang masih dipertanyakan.
Ujian terberat yang harus aku lalui adalah ketika para bangku , mengajak untuk mandi bareng atau tanding kencing paling lama. Sebisa mungkin aku selalu menghindar dari ajakan mereka, tapi lebih sering ajakan itu akhirnya ku terima.
Aku mulai menyadari kelainan ini sejak kelas satu SMP. Saat itu, aku dan Bang Ali sedang tidur seranjang. Dan di keremangan malam, Bang Ali memeluk tubuhku bagaikan memeluk bantal guling. Erat sekali.
Mungkin saat itu Bang Ali sedang bermimpi, sehingga dia tak tahu kalau jantungku tiba- tiba berpacu dengan sangat kencangnya. Sampai- sampai debarannya bisa ku rasakan sampai ke ujung ubun- ubun kepala. Keringat sebesar biji jagung langsung membanjiri sekujur tubuhku. Dan betapa gerahnya aku saat itu.
Dan yang paling menjijikan, nafasku mulai terengah- engah, seakan- akan hasratku terangsang oleh pelukan Bang Ali. Saat itu juga aku langsung membanting tangan Bang Ali dari atas perutku keas- keras, sampai Bang Ali terbangun dari tidurnya.
Bang Ali langsung memarahiku karena tangannya aku banting ke dinding sampai bengkak. Dia memarahiku tanpa ampun, seakan dia tak melihat ekspresi mukaku yang dilanda ketakukan yang dasyat, sampai- sampai aku hampir kencing di celana saking takutnya. Takut menghadapi kenyataan bahwa ada kelainan yang menjangkit tubuhku.
Amarah Bang Ali akhirnya reda ketika melihatku mulai terisak- isak. Dipikirnya mungkin aku menangis karena dimarahinya, padahal sepanjang amarahnya yang habis- habisan itu telingaku sama sekali tak mendengarnya. Karena pikiranku sibuk dihantui betapa menjijkannya aku kini.
Tahu diriku sudah belok, akupun tak patah semangat. Besoknya aku nekat nembak cewek demi membuktikan aku baik- baik saja. Tapi sialnya cewek itu menolakku. Padahal apa bagusnya dia sampai berani menolak seorang cowok ganteng sepertiku? Cewek cupu dan jelek begitu.
Besoknya aku nembak cewek lagi dan begitulah seterusnya sampai aku dijuluki PLAYBOY. Tapi apalah artinya julukan playboy kalau tembakanku selalu ditolak para cewek sampai saat ini. Aku belum pernah pacaran sekalipun. Mengenaskan.
Hingga akhirnya aku capek sendiri. Aku berhenti asal tembak di usiaku yang menginjak tujuh belas tahun ini, kelas dua SMA. Aku harus fokus pada seorang cewek. Itulah kunci agar tembakanku diterima. Mungkin.
Tapi masalahnya dimataku tak ada seorang cewek pun yang menarik. Bahkan aku lebih tertarik pada Leo, ketua kelas 12A4. Tuh kan mulai lagi !
Oleh karena itu sekarang aku mkir keras siapa cewek inceranku yang layak. Setiap hari ku pandangi wajah setiap cewek sampai dia jengah. Haha. Aku geli juga kalau sudah melihat pipi mereka yang kemerah- merahan. GR.
Tapi sampai kapan aku terus mencari? Aku sudah menghabiskan waktu tiga bulan dengan sia- sia tanpa hasil. Ya Tuhan, bantulah aku!



Fajar telah menyingsing sejak satu jam yang lalu. Kini kami sekeluarga sedang melakukan ritual biasa, berkumpul dan sarapan bersama di ruang makan. Ku lihat Papa, Bang Izal, Bang Rando, Bang Ipang dan Mama sudah menduduki kursi masing- masing sambil menatap ke arahku, semua pasang mata.
“Ada apa?” aku salting sendiri sambil melihat- lihat anggota tubuhku, mencari keanehan yang sebenarnya terletak dalam hatiku.
“tumben penampilanmu berantakan, biasanya kamu rapi banget kayak cewek kantoran,” celetuk Bang Izal, abang pertamaku sambil menyiuk nasi.
“Huss!” Papa menyela Bang Izal.
Deg.
Jantungku kembali berdetak- detak kepanikan. Sebenarnya aku bahagia mendengar celetukan Bang Izal, aku selangkah lebih maju menjadi lelaki sejati. Tapi JANGAN PERNAH ADA KATA CEWEK UNTUK MEMBANDINGKANNYA DENGANKU. Karena aku itu sensitif, mengerti kalian! Teriakku dalam hati.
“Lho Dit, kenapa mukamu merah begitu? Kayak kepiting rebus tahu,” Bang Ipang, abang keempatku berkomentar.
Aku salting lagi dan langsung menyadari kalau aku masih berdiri sedari tadi. Baru saja aku niat hendak duduk, bel rumah kami berdering. Siapa sih tamu sepagi ini? Omelku.
“Biar aku saja Ma, yang buka pintu,” kataku ketika melihat Mama hendak berdiri dari duduknya.
Ku langkahkan kakiku menuju pintu depan. Lalu seperti biasa ku pegang handle pintu dengan tangan kiri. Ceklek.
Wusss!
Serasa ada angin dari surga yang menerbangkan kelopak- kelopak bunga mawar menerpa wajahku. Mataku seakan- akan terhipnotis dan tubuhku seperti tersengat listrik sampai kau. Sungguh, darahku berdesir- desir indah di bawah permukaan kulitku yang panas. Amboy, nikmatnya rasa ini.
Aku masih terpana ketika wajah di depanku tersenyum riang dan berbicara,” Adit! Jadi rumah lo disini?Wah tetanggaan dong sama gue. Hehe. Asyik gue ketemu lagi sama teman lama. Eh kita udah dua tahun yah gak ketemu? Adit! Adit!”
Lenganku digoncang- goncangkan olehnya, seketika aku langsung tersdar dari lamunan dan tersdar bahwa kulit kami kini bersentuhan. Aku kembali merasakan sengatan listrik di seluruh tubuhku.
 “Oh, oh, apa tadi? Lo bilang apa?”
Sial. Kenapa mulutku gelagapan begini? Bikin malu aja.
“Ah elo bengong aja. Masih ingat gak sama gue? Temen SMP, inget gak?”
Ku peras otakku dalam- dalam demi mengingat siapa gerangan wajah ayu nan mempesona ini. Tapi BLANK. Otakku malah nge-hang melihat senyumnya.
“Masa lo gak inget sih? Gue Reva, anak kelas 9F dulu, yamg elo tembak di perpus itu lho, “ Reva membulat- bulatkan matanya di depanku.
“Ah uadah ah! Muka lo tambah bego aja, pasti lo gak ingat sama sekali sama gue ya? Ya udah deh gak apa- apa, nih! Gue cuma mau ngasih ini sama nyokap lo dari nyokap gue. Sekarang kita tetanggaan lho, keluarga gue baru pindah rumah kemarin. Emh udah dulu ya, ditungguin sarapan nih gue. By,” Reva meninggalkanku dengan senyumnya.
Ku pandangi tubuh Reva samapai hilang di balik rumah seberang. Reva, Reva. Betapa beruntungnya aku bisa bertemu akmu kembali karena kehadiranmu mampu menyenth benih- benih cintaku yang sejati. Sungguh Rev, kalu boleh aku ngaku, kamu adalah cewek teristimewa di hati ini. Gumam hatiku sambil tersenyum bahagia.



“Cie, cie, kesamber setan mana nih sampai senyam- senyum gitu?” bang Ali menggodaku.
“Iya nih, matahari aja kalah sama terangnya gigi lo yang kuning. Haha.”
“Rando!” Papa kembali menyela.
Mama lau bangkit dan berjalan ke arahku,” Ini dari tetangga baru kita ya? Siapa yang mengantarnya? Reva atau mamanya?”
“Reva dong,” jawabku cengengesan.
“Reva?” Bang Izal menjerit histeris.
“Kenapa, kenapa, Bang?” Bang Ali ingin tahu. Memang, abang keduaku ini selalu ingin tahu urusan orang.
“Dia kan gadis cantik anaknya tetangga baru kita ya , Ma? Ah, keduluan deh gue,” kata Bang Izal lemas. Sedangkan papa hanya geleng- geleng kepala melihat tingkah anak- anaknya.


Sebenarnya ini bukan merupakan kebetulan semata aku bisa duduk bersebelahan dengan Reva di bangku taman komplek. Seharian tadi aku sibuk jadi detektif kacangan, mengikuti Reva kemanapun ia pergi. Ke mall, toko buku, tanah abang sampai ke tukang jahit.
Lalu akhirnya aku menampakan diri juga di hadapannya karena aku tak tega melihat barang bawaannya yang selangit. Tapi jelas dong, aku tadi sedikit mengeluarkan bakat aktingku waktu bertemu dengannya. Ya, seolah- olah kami bertemu hanya kebetulan semata. Haha.
Setelah dia mau naik ke boncengan motorku, aku langsung membelokan niatnya, yang tadinya mau langsung pulang, aku ajak dulu duduk di bangku taman. Lalu ku belikan dia ice cream, agar kami bisa duduk lebih lama di taman. Taktik dong, Man.
“Wah beneran, Rev?”
“Iya, dulu sebenarnya gue juga suka sama elo. Malahan teman cewek sekelas gue pada berebutan pengen jadi pacar elo. Tapi ya itu dia, lo nembaknya suka gak sadar tempat. Trus udah gitu lo suka maksa lagi pengen dijawab saat itu juga. Haha. Padahal ya Dit, sebenarnya waktu itu gue bukan nolak elo, tapi pengen mastiin dulu lo nembak gue karena gue cewek spesial gak di hati hati elo. Eh ternyata standar- standar aja deh posisi gue, jadi males deh nerimanya. Haha.”
Pipiku merah, malu juga aib gue dibuka blak- blakan gini.
“Ih kenapa lo diem mulu sih daritadi?”
“Gue lagi pengan curhat ke elo Rev.”
“Curhat apa?”
“Lo kan tahu pengalaman cinta gue ditolak mulu, jadi gue pengen minta solusi sama lo. Ya bagusnya gue harus ngapain kalo mau nembak cewek biar diterima.”
“Oh, jadi ceritanya lo mau nembak cewek?”
Aku mengangguk mantap.
“Pertama lo harus ngebuat cewek inceran lo merasa spesial di hati lo. Trus lo cari tempat romantis, trus lo pegang deh tangannya, tatap kedua matanya lalu nyatain deh cinta lo. Dijamin, tokcer deh.”
“Emh, boleh tahu kriteria tempat romantis menurut lo?”
“Gue sih lebih suka tempat sepi, pokoknya tempat yang alamnya masih terjaga. Ya misalnya pegunungan, puncak, taman, laut, banyak deh,” pandangan Reva memandang lurus ke depan sambil berhayal.
Segera ku raih jemari Reva dan ku simpan erat di kedua genggaman tanganku. Reva tersontak kaget dan memandangku dengan tatapan terkejut. Aku sih cuek- cuek saja, sambil tersenyum meyakinkan.
“Gue suka sama lo, Rev. Sungguh, sejak kita bertemu kembali seminggu yang lalu di rumah gue.”
“Ya ampun Dit, gak usah dipraktekin sekarang,”jawab Reva salting.
Aku tersenyum.
“Rev, lo mau jadi pacar gue? Jadi cinta pertama dan pertama cinta gue?”
Reva lalu menunduk setelah ku lihat pipinya bersemu merah dan bibirnya tersenyum kegirangan.
“Diam tanda nerima lho,” godaku.
“Kalo bicara juga aku terima kok,” ucap Reva akhirnya.
“Cihuyy!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar